Ano tiba-tiba menghentikannya dan bertanya, “Kenapa berlari Leo?”
“Aku sedang mencari makan,” jawab si Leo.
“Ayo, kita nikmati bersama-sama saja buah soni ini!”
Leo memperhatikan buah soni dan tahu bahwa rasanya asam.
“Tidak. Aku tertarik di tengah hutan sana, ada banyak buah yang lebih manis daripada soni. Aku ingin memetiknya dan membawanya pulang,” tukas Leo.
“Sangat berbahaya kalau ke sana, Leo. Akhir-akhir ini, banyak pemburu masuk hutan memasang jerat. Sebaiknya urungkan niatmu dan mari kumpulkan buah ini saja.” Ano memberi saran.
“Tenang saja! Sekalipun aku bertemu jerat, sangat gampang bagiku untuk menghindarinya,” kata Leo pongah.
“Ada apa ini? Kalian membahas apa?” tanya Oga si Jonga (rusa).
“Leo ingin masuk ke dalam hutan. Aku sudah memperingatkan ada banyak jerat terpasang, tetapi Leo tidak mengindahkannya.” Ano memberi tahu.
“Benar. Jerat di mana-mana. Tidak usah berani masuk ke dalam,” pertegas Oga.
Namun, Leo tetap tidak mengindahkan peringatan itu. Leo berlari dengan kencang meninggalkan Ano dan Oga.
Siang harinya, ketika Ano dan Oga berjalan pulang dari mencari makan, mereka mendengar teriakan. “Tolong…tolong…, aduh kakiku….”
“Itu bukannya suara….”
“Leo si Maleo,” Ano pertegas yang dimaksud Oga.
Mereka memutuskan mencari suara itu. Di balik rimbunnya rumput minjangan yang mereka terobos, tampak Leo tergeletak mengeram kesakitan karena kakinya terkena jeratan si pemburu.
“Aduh kakiku,” Leo mengeram kesakitan lagi.
Dengan susah payah, Ano dan Oga mencoba membebaskannya. Jerat terlepas, tapi Leo tidak bisa bangkit akibat kakinya terkilir. Ano dan Oga lalu menggotongnya dan segera meninggalkan hutan.
“Maafkan aku teman-teman karena kecerobohanku tidak mendengarkan saran yang kalian berikan, aku jadi begini,” ucap Leo setelah mereka sampai di pinggir hutan.
“Kami maafkan, kok…,” jawab Oga.
“Kami harap kamu mendengar saran apa pun itu jika demi kebaikan,” kata Ano kemudian. *
Penulis: Siti Khotimatun Hasanah
Pendongeng: Paman Gery (Instagram: @paman_gery)
Ilustrasi: Regina Primalita