Di tengah “serbuan” kedai kopi modern yang berinterior keren, Jakarta masih menyisakan ruang untuk kehadiran kedai kopi tradisional, yang tak kalah laris. Salah satunya, Kedai Kopi dan Bakpao Kwang Koan, yang berdiri sejak 2009.

Berlokasi di Jalan Kelapa Kopyor Raya, Jakarta Utara, kedai kopi ini menawarkan suasana “jadul” dengan atmosfer “dapur” berisi alat-alat penyaring dan penyeduh kopi tradisional. Di bagian depan terdapat deretan bangku dan meja kayu.

Namun, dari kebersahajaan inilah justru terjalin komunikasi dan interaksi antara sesama pelanggan yang lebih akrab. Bahkan, Johny Poluan, sang pemilik Kwang Koan, tak segan-segan untuk ikut duduk berbincang dengan para pelanggannya.

Kwang Koan buka setiap hari mulai pukul 6 pagi. Pada hari kerja, kedai akan tutup pukul 6 sore, sedangkan di akhir pekan justru tutup lebih cepat, pada pukul 1 siang. Lalu apa yang membuat kedai kopi milik Om Johny, demikian sapaan akrab Johny Poluan, terasa spesial? Sebelum menjelaskan panjang lebar, Johny mengatakan bahwa sekarang ini banyak orang sudah tidak banyak bertanya jenis kopi lagi. Justru mereka akan lebih banyak bertanya dari mana kopi itu berasal.

Satu fenomena menarik belakangan ini adalah kesukaan orang yang gemar minum kopi dingin. “Dulu, banyak orang tahu dan senangnya minum kopi panas. Karena kopi itu kenikmatannya saat diseduh dan diminum pada suhu 80 derajat celsius. Di suhu itulah aroma kakaonya akan keluar,” terang Johny.

Dengan bersemangat, dia menjelaskan, “Jika berbicara tentang kopi, semua orang pasti akan mencari rasa yang paling cocok di lidahnya. Yang menentukan rasa kopi itu adalah saat kita melakukan proses roasting, sederhananya dengan cara memasak biji kopi dengan cara disangrai atau digoreng. Di situlah saya bermain untuk menciptakan rasa kopi yang nikmat dengan memainkan rasa asam, manis, dan asin.”

Menyukai dan memahami pembuatan kopi sejak masih muda, membuat Johny memahami benar bagaimana menciptakan rasa kopi yang nikmat. Dalam pengolahannya, dia memilih memakai biji kopi Toraja.

Di Kwang Koan, Johny menjual kopi dalam dua varian, hitam dan kopi susu, yang bisa disajikan dingin atau panas. Ada pula teh tarik dingin atau panas. Semua minuman cukup dibanderol dengan harga Rp 12 ribu per gelas.

Sebagai pelengkap menyeruput kopi, kedai tersebut juga menyediakan menu telur setengah matang dan bakpao, yang menurut Johny merupakan tradisi minum kopi khas orang Manado. Simpel dan menggugah selera.

 Sentuhan personal

0909-LANGGAM_2
0909-LANGGAM_3
0909-LANGGAM_1
0909-LANGGAM_4
0909-LANGGAM_5

Johny mengakui dalam pembuatan kopinya, agak sulit untuk mendapatkan standardisasi rasa. Pasalnya, dia membuat setiap cangkir secara customized yang justru menjadi keunikan minuman kopi di kedainya. Di sisi lain, Johny juga mengutamakan kehigienisan saat pembuatan dan penyajian minuman dan makanan.  Hal itu terlihat dari pemakaian masker.

“Untuk para reguler guest saya akan ingat, cita rasa apa yang menjadi kesukaan mereka. Bagi yang rutin datang, saya dan karyawan sudah hafal apakah dia mau rasa kopi yang strong, light, manis, atau tidak. Saya akui, rasa kopi di sini memang customized. Satu lagi standar pelayanan kami, yaitu one minute service, agar para pelanggan tidak perlu berlama-lama menunggu.”

Johny menekankan, “Pelanggan itu harus di-maintain. Jika mereka duduk, saya upayakan bisa duduk bareng. Secara psikologis, dengan saya sapa dan ajak obrol, mereka akan senang. Saya juga meminta karyawan saya untuk tahu nama tamu, setelah dia balik lagi yang kedua kali. Prinsipnya setiap pelanggan, mesti disapa.”

Tak mengherankan kedai kopi Kwang Koan selalu ramai, terutama pagi hari dan siang saat jam makan. Selain orangtua yang menjadi pelanggan setia, banyak juga anak muda yang gemar membeli es kopi di sini. Bagi pelanggan yang tidak bisa pergi ke kedai, tersedia layanan delivery melalui ojek online. Johny mengatakan, jika ramai, terutama Sabtu, sehari dia bisa menyuguhkan 1.000 cangkir.

Mengambil nama kedai dari bahasa Mandarin, kwang koan suei, yang berarti mata air, mungkin inilah pilihan Johny dalam menemukan mata pencaharian. Di balik kesederhanaan kedai kopi tradisional, terdapat inspirasi untuk tetap menjaga cita rasa autentik dan menjalin keakraban dengan setiap pelanggan. [MR RAHAJENG KRISTIANTI]

Foto-foto Iklan Kompas/E. Siagian.

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 8 September 2017