Digelar di dua wilayah—Bandarlampung dan Lampung Selatan—penutupan ini menandai berakhirnya sebuah inisiatif kolaboratif yang berhasil menjangkau lebih dari 3.870 individu secara langsung dan berdampak kepada sekitar 350.000 orang melalui berbagai program lintas sektor.
Proyek ini hadir untuk memperkuat kohesi sosial di tengah masyarakat melalui pendekatan berbasis budaya, pendidikan perdamaian, dan partisipasi aktif anak muda. Di Lampung, nilai lokal seperti Piil Pesenggiri dijadikan fondasi dalam membangun dialog lintas generasi dan mencegah konflik sosial.
“Kami senang menyaksikan kaum muda bergerak menjadi pelopor perdamaian di tengah kondisi sosial dan tantangannya. SSCP menunjukkan bahwa jika kita memberi ruang dan kepercayaan kepada pemuda, mereka bisa menciptakan perubahan nyata,” ujar Stephane Mechati, Minister Counsellor dari Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia.
Sepanjang pelaksanaannya, SSCP mencatat sederet pencapaian signifikan. Modul Pendidikan Perdamaian yang awalnya diterapkan di 10 sekolah kini telah berkembang ke 166 sekolah dengan dukungan Dinas Pendidikan Lampung Selatan, bahkan telah menarik minat empat pemerintah daerah lainnya untuk direplikasi. Selain itu, program ini juga mendorong terbitnya rancangan SOP dan Peraturan Gubernur terkait kebijakan pencegahan konflik berbasis komunitas.
Fokus pada pendidikan perdamaian
Tak hanya menyentuh pendidikan formal, SSCP juga menggelar pelatihan yang menjangkau 402 peserta dari kalangan guru, perangkat desa, hingga pejabat pemerintah. Sebanyak 440 tokoh adat dan agama dilibatkan dalam strategi sosial berbasis budaya, dan 259 pejabat pemerintah mengikuti diskusi pencegahan kekerasan.
Program ini juga menggerakkan enam organisasi pemuda untuk mengembangkan pendekatan resolusi konflik yang inklusif dengan partisipasi aktif perempuan dan anak muda.
Dalam sambutannya, Husnul Maad, Country Director ChildFund International di Indonesia menegaskan bahwa SSCP dibangun dengan tiga pilar utama: pendidikan perdamaian, narasi budaya oleh pemuda, dan dialog komunitas lintas generasi.
“Tiga pilar ini bukan hanya teori, tetapi sudah kami lihat bekerja secara nyata di komunitas. SSCP bukan proyek biasa, tapi gerakan,” ujar Maad lebih lanjut.
Meski proyek telah resmi berakhir, semangat dan kolaborasi yang telah terbangun diyakini akan terus berlanjut. Beberapa inisiatif yang lahir dari SSCP kini dilanjutkan melalui dukungan komunitas dan pemerintah daerah, termasuk panduan praktik baik dan rekomendasi kebijakan yang telah diserahkan ke Pemerintah Provinsi Lampung.
“Kami akan terus bergerak. SSCP telah membentuk fondasi yang kokoh untuk terus memperkuat damai melalui komunitas,” ungkap RD Agustinus Sunarto Yoga Pamungkas, pimpinan Yayasan Pembinaan Sosial Katolik, mitra lokal pelaksana program.
Penutupan SSCP bukanlah garis akhir, melainkan langkah awal dari gerakan yang lebih luas—gerakan yang membuktikan bahwa damai bisa dibangun dari ruang kelas, dari forum warga, dari warisan budaya, dan dari keyakinan bahwa anak muda mampu jadi penjaga harmoni masa depan.