Pola konsumsi kita menimbulkan konsekuensi yang kian besar bagi Bumi, semakin banyaknya sampah.

Pada 2016, lebih dari 480 miliar botol plastik dibeli di seluruh dunia, setara dengan 20 ribu botol per detik. Belum terhitung kaleng-kaleng aluminium atau botol-botol kaca. Sebagian besarnya tidak didaur ulang.

Segelintir desainer merespons isu ini. Mereka menemukan cara untuk memanfaatkan kembali sampah-sampah itu, dengan mengubahnya menjadi furnitur.

Carlos Alberto Montana Hoyos, seorang profesor di Fakultas Seni dan Desain Universitas Canberra, menciptakan A la Lata Lounger, kursi lounge yang terbuat dari lebih dari 1.700 kaleng aluminium. Ia memadukan teknik pengerjaan tradisional dengan desain kontemporer.

Ryan Frank dari Spanyol selalu berupaya menggunakan material yang berkelanjutan untuk perabot buatannya. Salah satunya, kantong plastik. Material ini menjadi penyumbang besar tumpukan sampah.

Namun, kantong plastik justru dimanfaatkan Ryan untuk membuat kursi Inkuku. Menggunakan teknik kerajinan tradisional Afrika, plastik-plastik itu diubah menjadi kursi dengan warna oranye yang mencuri perhatian.

Usaha rintisan Pentatonic melakukan hal yang sama. Perusahaan ini memproduksi kursi, meja, dan barang pecah belah dari komponen-komponen sampah. Karya-karya mereka dipamerkan di London Design Festival pada September 2017.

Untuk memproduksi perabot-perabotnya, Pentatonic menggunakan beragam sampah, seperti kaleng, ponsel, sampai filter rokok. Semua dibersihkan dan dihancurkan terlebih dahulu, baru kemudian dilelehkan untuk dicetak menjadi furnitur dengan proses injeksi molding.

Situs webnya juga memungkinkan kita untuk melacak sampah apa saja yang digunakan untuk membuat sebuah furnitur dan berapa banyaknya.

Airtool Chairs, misalnya, dibuat dari daur ulang kira-kira enam kilogram sampah plastik. Dengan apa yang dilakukannya, Pentatonic berharap bisa mentransformasi budaya konsumtif menjadi gagasan untuk memanfaatkan kembali apa yang tidak lagi kita pakai. Menciptakan siklus semacam reinkarnasi.

Mendaur ulang adalah membayangkan nilai guna sebuah produk, lepas dari fungsinya sebelumnya. Di tengah gaya hidup yang makin konsumtif, rasanya pola pikir seperti ini layak untuk dikembangkan dengan lebih masif, termasuk di Indonesia. [*]