Setelah pencabutan larangan sepeda motor melintasi Jalan Thamrin, Jakarta, berembus kabar bahwa penerapan kebijakan pelat nomor ganjil-genap juga akan diberlakukan untuk jenis kendaraan tersebut. Tentu saja hal ini menuai pro dan kontra.

Pemprov DKI Jakarta saat ini juga terus melakukan kajian akan kebijakan tersebut. Menurut Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno, kebijakan ini tidak mudah untuk dijalankan. Banyak aspek yang harus diperhatikan, salah satunya adalah kepatuhan warga. Pertimbangan untuk memberikan sepeda motor jalur khusus dengan menggunakan garis pembatas juga sudah dipikirkan.

Namun, beberapa pengamat melihat kebijakan ganjil-genap untuk sepeda motor akan membuat petugas kepolisian yang bertugas akan semakin berat. Meski demikian, para pengamat tetap percaya hal ini bisa membantu untuk mengurangi kemacetan.

Kebijakan pembatasan kendaraan berdasarkan pelat nomor diterapkan pada pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama. Alasannya, sistem 3-in-1 sudah tidak lagi efektif karena ternyata banyak praktik joki yang mengeksploitasi anak-anak. Hasilnya, pembatasan kendaraan berdasarkan pelat nomor ini diklaim berhasil sehingga terus dilanjutkan hingga saat ini.

Negara lain

Sembari menunggu perkembangan kebijakan ini diputuskan, tahukah Anda bahwa kebijakan ini pun sudah pernah diterapkan di negara lain. Ada yang berhasil, ada juga yang tidak.

Meksiko pada November 1989 pernah memperkenalkan kebijakan tersebut. Hanya, kebijakan ini agak lebih keras karena pemerintah Mexico City membatasi setiap mobil hanya boleh melintasi di jalan kota satu hari dalam seminggu. Setiap harinya diterapkan hanya dua nomor yang boleh melintas.

Teknisnya, hari Senin, mobil dengan pelat nomor terakhir 5 dan 6 akan diberikan stiker kuning dan boleh lewat jalan kota, sedangkan lainnya tidak boleh. Selasa, untuk nomor 7–8 berstiker merah muda, Rabu untuk pelat nomor 3–4 dengan stiker merah. Sedangkan untuk Kamis berstiker hijau untuk pelat nomor 1–2 dan Jumat untuk pelat nomor 9-0 dengan stiker biru  Peraturan ini hanya berlaku pada hari kerja, sedangkan pada akhir pekan tidak berlaku. Kebijakan ini disebut Hoy No Circula atau Hari Dilarang Berkeliling.

Awalnya, peraturan ini efektif dan diklaim mampu menurunkan angka polusi sebesar 11 persen. Namun, seiring waktu, penduduk Mexico City lelah dan memilih untuk membeli mobil dengan pelat berbeda. Bahkan, mereka rela membeli mobil bekas yang berpolusi tinggi hanya untuk mengakali peraturan tersebut. Mexico City pun didapuk sebagai kota dengan polusi tertinggi di dunia karena tingkat polusinya naik sebesar 13 persen.

Lain lagi di Bogota, Kolombia. Pemerintahnya menerapkan Pico y Placa atau Peak and Plate, kebijakan yang membatasi kendaraan berdasarkan jam sibuk dan nomor kendaraan. Kebijakan ini mengacak nomor polisi kendaraan sehingga warga sulit untuk mengakalinya. Sayangnya, kebijakan ini hanya membatasi kendaraan pada jam orang pergi dan pulang kerja. Hasilnya? Tidak berhasil karena banyak orang memutuskan untuk menunda kepulangan sampai jam berlaku peraturan itu selesai.

Berbeda lagi dengan Paris, Perancis. Pemerintah kota itu mengeluarkan larangan mobil berpelat genap untuk melintasi kota mulai dari 5.30 pagi sampai tengah malam. Namun, pemerintah kota memberlakukan kecepatan maksimal hanya 20 kilometer per jam, jika melanggar mereka akan dikenakan denda 22 euro.  Selain itu, pemerintah juga menggratiskan seluruh transportasi umum. Sayangnya, kebijakan ini hanya diterapkan satu hari. Kemungkinan keberhasilan Paris menerapkan ini karena populasinya tidak sebanyak Jakarta.

Beijing, China, juga merupakan salah satu kota yang hampir berhasil. Kenapa disebut hampir? Karena efeknya pernah positif, tetapi pada akhirnya kembali seperti semula. Beijing pernah menerapkan kebijakan ini sebagai cara untuk menanggulangi kemacetan jelang Olimpiade Musim Panas 2008. Pemerintah Beijing menerapkan dua digit belakang nomor polisi yang digilir dan dirotasi setiap tiga bulan. Awalnya, emisi kendaraan menurun hingga 40 persen, tetapi belakangan terjadi peningkatan penjualan mobil. Nah, bagaimana dengan Jakarta? Mari kita tunggu saja hasilnya. Jangan sampai cita-cita untuk meningkatkan kebiasaan penggunaan angkutan umum malah jadi terlupakan. [*/VTO]

Foto Shutterstock.com