Dalam masa hampir satu abad sejak obat diabetes yang dinamakan insulin ditemukan pada 1921, ilmu dan teknologi yang berhubungan dengan diabetes melitus (DM) sudah demikian maju. Namun, penyakit ini tetap tidak bisa dipandang sebelah mata dan belum dapat disembuhkan sepenuhnya.
DM bagai sebuah gunung es, yang sebagian besar volumenya ada di bawah permukaan laut dibandingkan yang di permukaan.
Maksudnya, hal yang dikhawatirkan dari DM bukanlah kondisi gula darahnya yang tinggi, tetapi komplikasi jangka panjang yang sangat mungkin terjadi jika kondisi tersebut diabaikan. Apalagi diperparah dengan gaya hidup yang tidak sehat.
Komplikasi yang dimaksud adalah stroke, buta, serangan jantung, payah jantung, gagal ginjal, kerusakan saraf dan pembuluh darah tepi, serta penurunan daya tahan tubuh terhadap infeksi.
WDD
International Diabetes Federation (IDF) dalam IDF Diabetes Atlas Eighth edition 2017 memaparkan bahwa jumlah penderita diabetes berusia 20–79 tahun di Indonesia mencapai 10 juta orang. Dengan jumlah tersebut, Indonesia ada di peringkat keenam setelah China (114 juta orang), India (73 juta orang), Amerika Serikat (30 juta orang), Brasil (13 juta orang), dan Meksiko (12 juta orang).
Angka-angka tersebut, diperkirakan oleh IDF, akan bertambah. Termasuk di kawasan Pasifik Barat yang di dalamnya ada China, negara-negara anggota ASEAN, dan Australia. Disebutkan bahwa 159 juta penderita diabetes di kawasan tersebut pada 2017, jumlahnya akan naik sekitar 15 persen menjadi 183 juta penderita pada 2045.
Melihat kecenderungan tersebut, setiap tahun diperingati World Diabetes Day (WDD) atau Hari Diabetes Sedunia untuk meningkatkan perhatian terhadap penyakit tersebut. Diprakarsai oleh IDF dan dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), WDD diperingati sejak 1991 setiap tanggal 14 November. Tanggal ini adalah tanggal kelahiran Frederick Banting, yang bersama Charles Best berperan besar dalam penemuan insulin pada 1921.
Tahun 2018 WDD mengangkat tema “The Family and Diabetes” atau “Keluarga dan Diabetes”, menunjukkan peran dan dukungan keluarga terhadap DM sangatlah besar. “Kalau ada salah satu saja anggota dalam keluarga yang kena diabetes, itu akan mempengaruhi yang lain,” kata Johanes yang kemudian memberi contoh keluarga beranggotakan ayah, ibu, dan tiga anak.
“Misalnya, sang bapak mempunyai diabetes, maka penghasilan akan terpotong untuk mengobati diabetes. Apalagi kalau sudah terjadi komplikasi dan si ayah tidak bisa bekerja karena itu, sang ibu harus bekerja dan dana untuk pendidikan anak-anak akan berkurang. Pengaruhnya besar, tecermin dari biaya yang dikeluarkan asuransi nasional BJPS untuk komplikasi DM di atas, belum menghitung biaya tidak langsung yang bisa mencapai sepertiga dari biaya langsung, serta dampak psikologis,” papar Johanes.
Hal yang sama terjadi jika DM diderita oleh anak. Seluruh anggota keluarga harus memberikan dukungan, antara lain dengan mengatur pola makan yang sesuai dengan penderita DM. Jika ini tidak dilakukan, dikhawatirkan DM yang diderita anak akan tak terkendali dan memicu komplikasi.
“Faktor genetik (keturunan) menjadi risiko timbulnya DM. Kalau satu anggota keluarga menderita diabetes, (anggota keluarga) yang lain harus dicegah jangan sampai mengalami diabetes juga. Untuk mencegah DM, keluarga harus bersatu supaya bersama-sama melakukan pola makan sehat, olahraga teratur, mengontrol berat badan. Yang bisa dilakukan itu,” ujar Johanes.
Pola hidup sehat
Berdasarkan pathogenesis atau keseluruhan proses perkembangan penyakit, DM dibagi menjadi dua yaitu tipe 1 dan dan tipe 2.
DM tipe 1 atau yang dulu disebut insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM) adalah kondisi di mana tubuh kekurangan hormon insulin karena kerusakan pada sel beta pankreas. Kerusakan ini bisa terjadi antara lain karena autoimun atau antibodi menyerang sel beta pankreas.
Sementara itu, DM tipe 2 atau yang dulu disebut non-insulin-dependent diabetes mellitus (NIDDM) adalah kondisi kadar glukosa darah yang tinggi akibat hilangnya kemampuan tubuh merespons insulin atau resisten insulin. Selain itu, semua DM dipengaruhi faktor genetik dan lingkungan.
Gula darah yang tinggi, seperti dikatakan Johanes, akan menyebabkan pembuluh darah mengalami kerusakan, entah itu berupa penyumbatan atau inflamasi. Proses ini sebenarnya akan terjadi pada setiap orang secara alamiah. Namun, pada orang dengan DM, proses ini akan lebih cepat dan berat. Oleh karena itu, pengobatan dan menjalankan pola hidup sehat perlu dilakukan untuk mengontrol kadar gula dalam darah.
Pola hidup sehat yang dimaksud antara lain berolahraga secara rutin, istirahat cukup, serta mengonsumsi makanan dengan indeks glikemik (angka yang menentukan seberapa cepat makanan diubah menjadi gula darah) rendah. Sayur dan buah adalah makanan yang direkomendasikan. Namun, konsumsi beberapa buah seperti pisang, mangga, anggur hitam, dan durian sebaiknya dibatasi karena indeks glikemiknya relatif tinggi dibandingkan buah lainnya.
Johanes menambahkan bahwa efek psikologis sosial juga penting, dan ini memiliki efek yang besar. “Kalau (penderita DM) patah hati atau depresi karena keluhan yang enggak hilang, itu bikin (kadar) gula naik. Itu berarti obat bertambah. Kalau semangatnya bagus, itu akan membaik, juga rasa positive thinking. Orang DM butuh dukungan bukan hanya dari dokter dan berupa obat yang sesuai, bahkan terutama dari lingkungan yang paling berpengaruh dalam hidupnya sehari-hari, yaitu keluarga, dan lingkungan pekerjaan.” [ASP]
Diet sehat rekomendasi IDF |
|
Memilih air mineral, kopi, atau teh tawar dibandingkan minuman dengan pemanis buatan. | |
Memilih kacang-kacangan, potongan buah segar, atau yoghurt tanpa gula untuk camilan. | |
Membatasi, atau lebih baik tidak mengonsumsi minuman beralkohol. | |
Mengonsumsi setidaknya tiga porsi sayuran setiap hari, termasuk sayuran hijau. | |
Makan hingga tiga porsi buah segar setiap hari. | |
Memilih daging “putih”, unggas, atau makanan laut tanpa lemak dari pada daging olahan. |
Aktivitas fisik rekomendasi WHO |
|
Anak-anak dan remaja usia 5–17 tahun setidaknya melakukan aktivitas fisik selama sekitar 60 menit dengan intensitas sedang hingga kuat setiap hari. | |
Dalam seminggu, orang dewasa berusia 18–64 tahun setidaknya melakukan aktivitas fisik aerobik sekitar 150 menit intensitas sedang (jalan cepat, joging, berkebun). Selain itu, setidaknya 75 menit aktivitas fisik aerobik intensitas tinggi sepanjang minggu, atau kombinasi yang setara dari aktivitas intensitas sedang dan kuat. | |
Untuk orang dewasa yang lebih tua, jumlah aktivitas fisik harus mencakup kegiatan keseimbangan dan penguatan otot yang disesuaikan dengan kemampuan dan keadaan. |