Mengutip laporan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Kesehatan, osteoporosis adalah penyakit tulang yang ditandai dengan menurunnya massa tulang (kepadatan tulang) secara keseluruhan akibat ketidakmampuan tubuh dalam mengatur kandungan mineral dalam tulang.
Osteoporosis ibarat pencuri yang dengan mengendap-endap mengambil kepadatan tulang. Empunya tidak selalu sedari awal sadar sampai ia telah kehilangan banyak.
Ini disertai rusaknya arsitektur tulang yang kemudian mengakibatkan pengeroposan tulang. Osteoporosis adalah salah satu penyakit yang digolongkan sebagai silent disease karena tidak menunjukkan gejala-gejala spesifik.
Kerap, osteoporosis baru terdeteksi setelah seseorang mengalami keretakan tulang. Pada fase awal, osteoporosis juga umumnya tidak menimbulkan rasa sakit meski selanjutnya ada gejala-gejala umum seperti nyeri pada tulang dan otot, terutama tulang punggung. Selain itu, Anda patut berhati-hati ketika mendapati tulang punggung yang semakin membungkuk atau penurunan tinggi badan.
Secara global, Hari Osteoporosis Dunia diperingati setiap 20 Oktober. Ini selayaknya menjadi momentum untuk membuat kita lebih awas akan risiko penyakit ini. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, terdapat lebih dari 200 juta orang mengalami osteoporosis di seluruh dunia.
Perhimpunan Osteoporosis Indonesia juga mencatat, pada 2013, prevalensi osteoporosis pada perempuan usia 50–70 tahun mencapai 23 persen.
Ada sejumlah faktor risiko yang meningkatkan kerentanan seseorang terhadap osteoporosis. Faktor-faktor itu dikelompokkan lagi, menjadi yang tidak bisa diubah dan yang bisa diubah. Yang tidak bisa diubah antara lain terkait faktor genetik, jenis kelamin, dan ras.
Orang dengan riwayat keluarga pernah mengalami osteoporosis lebih rentan terhadap penyakit ini. Perempuan juga memiliki faktor risiko lebih tinggi empat kali terkena osteoporosis ketimbang pria karena produksi hormon estrogen menurun ketika perempuan berusia di atas 35 tahun. Selain itu, pada perempuan hamil, pembentukan janin membutuhkan banyak kalsium. Terkait ras, densitas tulang orang Asia dan Kaukasia lebih rendah dibandingkan orang Afrika, sehingga kita lebih mudah terkena osteoporosis.
Peluang kita adalah mengendalikan faktor risiko yang bisa diubah, terutama terkait gaya hidup. Asupan kalsium, protein, dan vitamin D yang cukup amat penting. Yang juga tak boleh diabaikan, olahraga.
Latihan untuk tulang
Pengetahuan tentang pentingnya berolahraga sayangnya tak selalu sejalan dengan aksi nyata. Berdasarkan data BPS, lebih dari 40 persen orang sepakat bahwa olahraga dibutuhkan untuk menjaga kesehatan tubuh dan mencegah penyakit.
Namun, Statistik Sosial Budaya BPS DKI Jakarta pada 2015 menunjukkan, hanya sedikit orang yang menjalani kebiasaan berolahraga. Tercatat pada usia 10–29 tahun, hanya 19 persen yang rutin berolahraga. Ini terus menurun pada kelompok usia tua. Hanya 10 persen orang yang punya kebiasaan berolahraga di usia 60 tahun ke atas.
Terkait dengan kesehatan tulang dan sendi, kebiasaan untuk bergerak aktif menjaga krusial. Olahraga bermanfaat untuk menjaga kelenturan sendi, memperkuat otot di sekitar tulang dan sendi, serta mempertahankan kepadatan tulang. Olahraga yang paling sesuai untuk tujuan ini adalah weight-bearing, olahraga yang memberi beban pada tulang. Beberapa contohnya, latihan beban, berjalan, mendaki, dan joging. Untuk kategori usia yang berbeda, olahraga jenis ini juga bisa divariasikan.
Anak-anak dan remaja adalah kelompok usia yang relatif paling aktif melakukan olahraga, terutama karena mereka melakukan aktivitas fisik ketika bermain dan di sekolah ada pelajaran atau ekstrakurikuler olahraga. Jenis-jenis aktivitas fisik mereka secara tak disadari umumnya sekaligus menjadi latihan weight-bearing, termasuk permainan olahraga seperti tenis dan kasti.
Orang dewasa punya pilihan olahraga weight-bearing yang luas. Misalnya, joging, berjalan cepat, bersepeda, dan yoga. Anda bisa menambahkan pula latihan untuk kekuatan otot seperti angkat beban. Frekuensi olahraga weight-bearing yang direkomendasikan adalah 3–5 kali seminggu dan latihan kekuatan otot 2–3 kali seminggu dengan durasi 30–60 menit per latihan.
Kelompok lansia bisa melakukan olahraga berjalan, bersepeda, atau berenang. Selain itu, penting bagi lansia untuk latihan fleksibilitas dan keseimbangan, misalnya dengan tai chi. Ini diharapkan dapat mencegah terjadinya insiden jatuh pada kelompok usia ini. [NOV]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 22 Oktober 2018.