Matahari belum beranjak terlalu tinggi, pukul 8.30 pagi itu. Deretan kapal motor berjajar rapi di Tanjung Kelayang, Belitung. Pantai meramai. Pertanda baik, kapal-kapal akan segera melaut. Tak lama lagi, penuhlah kapal-kapal itu dengan penumpang, menampung harapan mereka untuk menjamah keelokan Belitung.
“Kuku,†seorang pria separuh baya mengenalkan dirinya kepada sekelompok calon penumpang. Dialah pemilik beberapa kapal yang disewakan di Tanjung Kelayang. “Masih menunggu orang lain? Kalau tidak, kapal bisa berangkat sekarang. Jangan terlalu siang. Jika air pasang nanti, kita tidak bisa mampir di Batu Berlayar dan Pulau Pasir, pulaunya sudah terendam.â€
Klasikamus
SatamSelain batuan granit, Belitung terkenal karena batu satamnya. Batu ini berwarna hitam dan memiliki urat-urat yang khas. Batu jenis ini langka karena terbentuk dari proses alam jutaan tahun lalu atas reaksi tabrakan meteor dengan lapisan bumi yang mengandung timah tinggi.
Bertolak dari Tanjung Kelayang, dalam sehari perjalanan pelancong bisa mendapatkan beberapa menu sekaligus: Pulau Batu Garuda, Pulau Batu Berlayar, Pulau Pasir, Pulau Lengkuas, dan Pulau Babi atau Pulau Kepayang. Uniknya, beberapa pulau seperti Batu Berlayar dan Pulau Pasir tak bisa disinggahi jika air sudah naik. Kedua pulau kecil ini hanya tampak ketika air surut.
Pelancong bisa menentukan sendiri rute perjalanannya, tetapi biasanya pemandu kapal akan menyarankan untuk mengunjungi pulau yang terdekat terlebih dahulu, Batu Garuda. Dari sudut tertentu, susunan batuan pada pulau ini terlihat menyerupai kepala burung garuda. Kapal tidak bisa singgah di sini, hanya dapat mengitarinya.
Kapal melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian, batu-batuan granit khas Belitung yang menjulang tampak dari kejauhan. Itulah Pulau Batu Berlayar. Konon, pulau ini mendapatkan namanya dari bentuk dua batu tinggi—kira-kira 10 meter tingginya—yang berdiri tegak bak layar perahu. Ketika kapal merapat, bening air memungkinkan kita melihat dasar laut yang tidak terlalu dalam. Sesekali, tampak ikan yang berenang gesit atau ubur-ubur transparan.
Penumpang kapal tak sabar untuk segera turun. Pulau ini tak luas, barangkali hanya seukuran lapangan tenis. Tak butuh waktu lama untuk menghabiskannya. Hampir semua pelancong sibuk berkeliling dan mengabadikan pemandangan lewat kamera. Potongan puzzle panorama Belitung satu demi satu dikumpulkan untuk mengutuhkan gambaran Belitung yang sudah terbayang di kepala.
Panggilan awak kapal menyadarkan para pelancong tentang waktu. “Jangan terlalu lama, nanti kita tidak bisa ke Pulau Pasir,†teriak salah seorang awak kapal. Para pelancong pun kembali naik ke perahu. Awak kapal itu melanjutkan, “Lewat jam 11 atau 12, Pulau Pasir sudah tidak kelihatan.â€
Daratan berpasir putih itu sudah dikelilingi sejumlah perahu. Tak seperti kebanyakan pulau dan pantai lain di Belitung, tak ada batu granit di sini. Hanya pasir. Pulau ini seperti dasar laut yang meninggi dan menyembul hanya ketika air surut. Hal yang paling ditunggu-tunggu di sini, bintang laut. Surutnya laut mereka manfaatkan untuk sejenak naik ke permukaan dan berjemur. Sementara itu, para pelancong menggunakan momen tersebut untuk melihat, memotret, bahkan memegang langsung binatang yang tak sering mereka jumpai itu.
Primadona Belitung
Destinasi berikutnya begitu ditunggu-tunggu. Keindahannya tak perlu diragukan lagi, Pulau Lengkuas. Pulau kecil dengan luas kurang dari satu hektare ini menjadi magnet besar karena perpaduan panorama bawah laut, batuan granit, air jernih, dan mercusuar tuanya. Ditambah lagi, pulau ini dikelilingi taman bawah laut yang sayang dilewatkan.
Sebelum kapal merapat, pelancong bisa snorkeling di sekitar pulau. Jika Anda berminat, sebaiknya sewa peralatan snorkeling di Tanjung Kepayang, sebelum kapal berangkat. Biasanya pemilik kapal juga menyewakannya. Warna-warni terumbu karang dan gerombolan ikan menjadi penyejuk mata yang menyenangkan sebelum menginjakkan kaki di Pulau Lengkuas.
Pulau Lengkuas yang memikat memiliki mercusuar yang dibangun Pemerintah Belanda pada 1880-an. Hingga kini, mercusuar tersebut masih setia menuntun lalu lintas kapal yang melewati perairan Belitung. Selain menjadi patokan berlayar kapal, kini mercusuar ini menjadi titik bagi para pelancong untuk menikmati pemandangan dari puncaknya, di ketinggian kira-kira 50 meter.
Mercusuar ini memiliki 18 lantai. Jika ingin naik, pengunjung harus melepas alas kaki agar kebersihan bagian dalam menara tetap terjaga. Menapaki setiap anak tangga besi di menara itu memberikan sensasi sendiri. Bentuknya yang melingkar dan terus mengecil menuju ke atas seolah lorong waktu yang membawa kita ke masa lalu, zaman kolonial. Bayangan gelap akan masa-masa itu berpadu dengan antusiasme menyesap keelokan pantai-pantai Belitung. Anak-anak tangga dan lantai menara yang tua dan berkarat mengantar kita menuju tempat terbaik untuk menyaksikan moleknya Pulau Lengkuas.
Pada lantai tertentu, terdapat jendela yang memungkinkan kita melongok ke bawah sebelum mencapai tampuk menara. Dari situ saja, pemandangan sudah begitu memukau. Jika belum kehabisan tenaga, sebaiknya kita merasakan berada di pucuk tertinggi. Dari sana, tampak jelas hamparan turqoise air laut yang berpadu apik dengan abu-abu pucat batuan granit. Kapal yang dominan biru-merah berjajar di pinggiran pasir putih. Nyiur hijau yang bergerak-gerak tertiup angin tampak hidup. Magisnya lanskap Pulau Lengkuas membuat kita seolah ingin sejenak membekukan waktu.
Kepuasan menikmati Pulau Lengkuas akan lengkap jika ditutup dengan bersantai dan bersantap di Pulau Kepayang, maka ke sanalah kapal kami selanjutnya menuju. Panggangan ikan ketarap khas Belitung, kelapa muda, dan kudapan pisang goreng menuntaskan perjalanan yang begitu berkesan itu. [NOV]
noted: mengecap keelokan pulau-pulau belitung