Deru aktivitas kota besar kerap membuat jantung kita berdegup lebih kencang. Mengundang stres dan kian membosankan. Untuk itu, menepi sejenak ke tempat yang tenang akan membuat kita seolah menemukan kembali kedamaian. Raga dan jiwa pun bisa lebih mengalami ketenteraman.

Itulah remah-remah kesimpulan yang ditarik oleh tim Kompas Eksplor, tatkala singgah di Kampung Naga, yang terletak di Desa Neglasari, Tasikmalaya, Jawa Barat. Hanya memakan waktu sekitar satu jam perjalanan darat dari Kota Garut, Selasa (5/12) kira-kira pukul 3 sore, tim Kompas Eksplor tiba di Kampung Naga. Atmosfer sejuk ditingkahi semilir angin, menyambut kedatangan kami.

Untuk mencapai pemukiman warga, kami perlu berjalan kaki menuruni ratusan anak tangga. Sembari “mengukur” jalan, Kang Eri, pemandu yang mendampingi kami, mengawali cerita dengan menjelaskan beberapa peraturan yang mesti ditaati saat berkunjung.

Aturan itu, antara lain menggunakan jasa pemandu lokal untuk memastikan tamu mengikuti tata adat dan aturan setempat, bersikap santun dan berpakaian sopan, serta dilarang memotret dan mendatangi tempat yang sakral. Salah satu tempat wingit adalah hutan larangan yang berada di seberang sungai.

Keseimbangan alam

Sembari berbincang, kami mendapat suguhan panorama pedesaan yang asri dan sejuk. Tampak ratusan rumah beratap ijuk yang dibangun seragam, berjajar rapi saling berhadapan. Di area luar pemukiman, terhampar sawah, kolam ikan, lapangan, serta kolam pemandian warga. Kampung Naga juga dilintasi Sungai Ciwulan yang berasal dari Gunung Cikuray, Garut. Damai sekali.

kolam kampung naga

Seperti mangkuk, Kampung Naga terletak di lembah. Uniknya, meski berdekatan dengan jalan raya, pikuknya jalan hampir tak terdengar saat tiba di area permukiman. Nama Kampung Naga berasal dari kata nagawir yang artinya sebuah kampung yang dikelilingi tebing. Dihuni oleh suku Sunda yang memeluk agama Islam, warga Kampung Naga secara turun-temurun berdiam di area seluas 1,5 hektar.

“Memang sudah menjadi pesan dari orangtua kami, jika permukiman di sini hanya dibatasi di atas lahan 1, 5 hektar. Barulah di luar itu dipakai untuk kolam ikan maupun tempat mandi, juga tempat pemakaman, karena pengaturan luasan area ini berguna untuk menjaga keseimbangan alam di sini,” tutur Eri.

Area permukiman hanya mampu menampung 110 rumah dengan luasan tergantung dari denahnya. Untuk itulah, rumah di sana menjadi aset turun-temurun hingga anak cucu. Selain tempat tinggal, juga terdapat masjid, ruang serbaguna, dan lumbung padi.

Dua lapis

Atap rumah warga terdiri atas dua lapis. Daun tepus untuk lapisan dalam dan ijuk di lapisan luar. Sementara itu, dinding rumah memakai anyaman bambu yang khas, yaitu anyaman sasak. Tak hanya unik, anyaman sasak juga berfungsi sebagai ventilasi sekaligus membantu menjaga keamanan di permukiman.

rumah kampung naga

“Saat siang hari, kegunaannya bagi yang di dalam rumah bisa melihat langsung siapa yang berkunjung. Sedangkan saat malam hari sebaliknya dari luar bisa lihat ke dalam rumah, kecuali kamar tidur, untuk membantu warga yang bertugas ronda,” lanjut Eri.

Setiap rumah warga Kampung Naga memiliki empat ruangan, yaitu ruang keluarga dan tamu, dapur, kamar tidur, dan goah (sejenis gudang penyimpanan padi di bagian dapur). Masing-masing rumah memiliki dua pintu masuk, yaitu ke dapur dan ruang tamu. Sehari-hari, penghuni keluar-masuk melalui pintu dapur. Barulah jika ada tamu, dibukakan pintu ruang tamu.

Menariknya, saat menelusuri Kampung Naga, kami mendapati daun-daun kering yang ditempel di setiap pintu dapur. Ini disebut sawen yang berguna untuk tolak bala. Dapur adalah sentra aktivitas pemilik rumah yang berdekatan dengan tempat menyimpan padi dan disimbolkan sebagai harta.

Ciri khas lain dari rumah Kampung Naga adalah bentuk bangunan yang seragam menyerupai rumah panggung. Bagian kolong rumah difungsikan sebagai kandang ayam atau kelinci. Desain rumah di sini tampak efisien dan memanfaatkan ruang. Ini untuk menyiasati keterbatasan lahan.

 

Untuk aktivitas mandi dan mencuci peralatan dapur, setiap warga harus berjalan ke kolam mandi dan cuci yang terletak di luar permukiman. Sumber air minum pun berada di luar permukiman. Mengingat tidak ada aliran listrik ke kampung ini, selepas Magrib, warga akan memasang petromaks untuk penerangan, utamanya menerangi anak-anak yang belajar. Menjelang tidur, penerangan diganti dengan lentera.

Pendidikan formal

Tentang pendidikan, menurut Eri, warga Kampung Naga telah memiliki kesadaran yang tinggi untuk menyekolahkan anaknya di pendidikan formal. Semua anak usia sekolah menempuh pendidikan formal di luar kampung. Selepas SMA, mereka juga diperbolehkan untuk bekerja di tempat yang jauh dan meninggalkan Kampung Naga.

Eri menjelaskan, “Yang perlu diingat, setiap warga yang pergi merantau untuk bekerja, ketika balik ke Kampung Naga, atribut luar harus ditanggalkan. Para perantau harus kembali mematuhi norma-norma yang berlaku di sini. Misalnya, menjaga ketertiban dan ketenangan, seperti selepas shalat Isya pukul 8 malam, waktunya untuk tidur. ”

aktivitas warga kampung naga

Mayoritas mata pencaharian warga Kampung Naga adalah bertani; dan beternak ayam, ikan nila, dan ikan mas. Untuk konsumsi sehari-hari, pembagian beras sebagai makanan pokok telah diatur dengan mengambil jatah dari lumbung desa. Sedangkan untuk daging, cukup mengolahnya dari hewan ternak yang dimiliki.

Di samping itu, kaum perempuan banyak yang mencari nafkah tambahan dengan membuat kerajinan. Karya dari Kampung Naga berupa mangkuk dan piring anyaman bambu yang acap digunakan untuk kemasan dodol garut.

Segala kegiatan di kampung ini mengutamakan gotong-royong. Bu Dedeh (40), warga Kampung Naga yang berjualan suvenir di balai pertemuan, menuturkan, “Gotong-royong masih kental di sini, bahkan hingga pembuatan kerajinan dan suvenir. Seperti beras merah organik yang saya jual ini merupakan hasil kerja sama dengan ibu-ibu tetangga untuk setiap prosesnya.”

Musyawarah juga menjadi nilai yang dijunjung tinggi oleh warga Kampung Naga. Semisal, untuk memilih kepala desa.

“Meski posisi itu digilirkan secara turun-temurun, setiap ada penggantian, wajib dilakukan musyawarah bersama di balai desa. Musyawarah dan gotong-royong juga rutin terjadi setiap mengadakan upacara adat yang diadakan enam kali dalam setahun. Biasanya upacara berbentuk syukuran dan berziarah ke makam leluhur,” pungkas Eri.

Oleh MR Rahajeng Kristianti

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 29 Desember 2017