Liburan bukan hanya menjadi sebuah gaya hidup, tetapi sudah menjelma sebagai kebutuhan. Mau pergi sendiri, bersama kekasih, keluarga, atau sahabat, semua pilihan itu bebas kita tentukan. Ketika niat sudah terkumpul, saatnya memilih destinasi mana yang akan dijelajahi. Kali ini, biarkan Chiang Mai yang menawarkan keelokannya untuk seluruh indera kita.

Berbeda dengan Bangkok, Pattaya, atau Phuket yang ramai, suasana Chiang Mai relatif lebih tenang. Cocok untuk Anda yang ingin sejenak melepaskan kepenatan dari rutinitas dan “melarikan diri” dari keramaian kota-kota besar. Kota pegunungan ini menawarkan suasana beriklim sejuk, beratmosfer damai, dan bebas macet.

Tentu saja, kesempatan mengunjungi Chiang Mai tidak disia-siakan ketika mendapat undangan dari Tourism Authority of Thailand (TAT) Jakarta, Desember lalu. Selama empat hari kunjungan, rombongan kami didampingi warga lokal bernama Fakri atau akrab dipanggil Sky.

Klasikamus:
Chiang Mai
Terletak di wilayah utara, Chiang Mai merupakan kota terbesar kedua di Thailand setelah Bangkok. Di bagian utara sendiri, kota tersebut menjadi kota terbesar yang kental dengan tradisi budaya, keragaman etnis, kuliner lokal yang khas, dan panorama alam pegunungan yang indah. Arti kata Chiang Mai adalah kota baru.

Menurutnya, waktu berlibur ke Thailand memang paling pas pada November hingga Februari. Pada rentang waktu itulah Chiang Mai mengalami iklim paling sejuk, serta suasana kota terasa lebih  “hidup” karena banyak festival yang dihelat. Sejumlah festival ternama dari daerah itu, seperti Northern Lantern Festival, Chiang Mai Loy Krathong, Chiang Mai Mardi Gras, dan Flower Festival, akan digelar.

Tak heran, menurut Sky, pada bulan-bulan itulah Chiang Mai banyak didatangi wisatawan domestik maupun mancanegara. “Menariknya, meski di bulan-bulan itu jumlah wisatawan meningkat, tetapi kondisi lalu lintas Chiang Mai tetap lancar. Dalam satu hari, Anda akan bisa mengunjungi lima lokasi wisata meskipun letaknya berjauhan.”

Pikat damai Chiang Mai ini membawa kita seolah bernostalgia ke era kejayaan Kerajaan Lanna. Ya, dulu, jauh sebelum bergabung dengan Kerajaan Siam, kota ini menjadi pusat Kerajaan Lanna yang memang memiliki wilayah di daerah Thailand utara. Jika kita berjalan-jalan ke penjuru kota, kerap kali didapati kuil-kuil (wat) ataupun sisa tembok kuno bekas benteng dan alur parit yang lebar mengelilingi kota.

Suasana kota tua itu ternyata tampak harmonis berpadu langgam modern. Dengan mudah kita dapat menemukan kuil atau sisa tembok benteng kerajaan yang “menyelip” di antara bangunan modern hotel, kafe, ataupun mal. Bahasa lokal di sana juga masih kental diucapkan warga kota ini.

Alam dan budaya

Saat berada di sana, penulis dan rombongan mencoba mengeksplorasi Chiang Mai. Setelah puas dijamu makan malam di Royal Park Rajapruek, taman bunga terbesar di kota itu, esok harinya, agenda acara diisi dengan kunjungan ke Maesa Elephant Camp dan Desa Karen Long Neck.

Waktu tempuh ke lokasi kamp gajah dari jantung kota Chiang Mai berkisar 40 menit. Saat tiba di lokasi, kami seolah diajak menikmati suasana alam yang permai. Paduan suara gemericik air sungai mengalun bersama lengking suara gajah yang seolah mengajak kita untuk bergegas memasuki kamp ini.

Tempat penampungan gajah di sini cukup rimbun karena ada banyak tumbuhan besar dan rumpun perdu, sesuai habitat alami gajah. Kamp gajah yang sudah berdiri sejak 1976 ini tertata rapi dan bersih dan menjadi rumah bagi 76 ekor gajah. Tanpa membuang waktu, kami segera bergabung dengan banyak wisatawan lain untuk memberikan pisang sebagai makanan gajah, sekaligus melihat proses memandikan gajah.

Ketika menuruni sungai, ada tiga ekor gajah yang masing-masing dimandikan pawang (mahout). Proses ini tampak cukup menarik, sebab gajah-gajah itu seolah menikmati saat tubuhnya diguyur air dengan gayung besar atau kala tubuhnya digosok-gosok agar bersih. Gajah-gajah tambun itu kemudian memanjakan diri dengan membaringkan tubuhnya ke sungai. Setelah itu, pengunjung kamp diajak memasuki area luas untuk mengisi bangku-bangku penonton.

Ternyata inilah atraksi yang ditunggu-tunggu. Ada sekitar 10 ekor gajah berbaris rapi menyambut penonton, kemudian mereka bermain sepak bola layaknya tim bola kenamaan. Atraksi dilanjutkan dengan kegiatan melukis. Ya, luar biasa ternyata binatang besar itu pandai melukis. Jika ada turis yang tertarik membeli lukisan itu, bisa mendapatkannya di toko suvenir.

Seusai dihibur atraksi gajah, perjalanan dilanjutkan ke suku leher panjang di Desa Karen Long Neck. Mengingat jalanan menuju desa masih alami, kami tak bisa melanjutkan perjalanan dengan bus. Sebagai gantinya, truk semi-terbuka menjadi sarana transportasi menuju desa itu.

Perjalanan memakan waktu 20 menit. Sawah yang membentang dengan rumah-rumah tradisional menyambut kami di Desa Karen Long Neck. Konon, inilah satu-satunya desa yang masih menjadi tempat bermukim suku leher panjang.

Memasuki area desa, kami disambut pemandangan rumah tradisional sekaligus warung suvenir yang kebanyakan dihuni para perempuan dan anak-anak. Baik perempuan dewasa ataupun anak perempuan, melilitkan gelang logam pada leher, kaki, dan pergelangan tangan.

Gelang-gelang berfungsi membentuk leher dan kaki agar semakin panjang. Bobot gelang itu bisa mencapai 5 kilogram untuk leher, dan masing-masing 1 kilogram untuk kaki. Menurut kepercayaan mereka, semakin panjang leher seorang perempuan Karen Long Neck, dia akan dinilai semakin cantik.

Kegiatan mereka sehari-hari umumnya menenun, mengasuh anak, dan menjaga warung suvenir. Warung ini menjajakan kain, baju, perhiasan, dan pernak-pernik dalam warna-warni khas kerajinan Thailand utara.

Mayoritas perempuan Desa Karen Long Neck fasih berbahasa Inggris. Mereka mendapatkan keterampilan berbahasa Inggris dari seorang misionaris yang berkarya di sana.

Setelah menikmati suasana dan keramahan penduduk desa, kami kembali ke kota sembari mampir di Thai Silk Village. Ini adalah tempat pembudidayaan ulat sutra, penenunan, hingga toko yang menyediakan beragam produk tekstil dari bahan sutera.

Tak lupa, kami juga mengunjungi Borsang’s Umbrella di Distrik Sankamphaeng. Di sini, kita bisa menyaksikan proses pembuatan payung tradisional dari bahan bambu serta kain atau kertas yang dilukis tangan. Tidak hanya dipakai saat cuaca terik, payung Borsang dapat dipakai sebagai dekorasi rumah dan upacara adat.

Di Chiang Mai, kita juga bisa singgah di sejumlah kafe dan rooftop bar yang didekor secara unik. Penulis menyempatkan diri untuk mampir ke beberapa kafe mungil di area hotel. Ada banyak jenis makanan yang dijual, seperti pizza, burger, maupun camilan khas Thailand. Kebetulan, saat itu tengah digelar bazar yang menjual aneka produk kreatif karya anak muda Chiang Mai.

Di hari terakhir, saatnya berkunjung ke kuil tertinggi di Chiang Mai yang terletak di Gunung Suthep. Nama kuil Buddha itu adalah Wat Phra That Doi Suthep. Untuk mencapainya, kurang lebih dibutuhkan waktu satu jam dari pusat kota.

Untuk mencapai puncak, pengunjung bisa memilih berjalan kaki menapaki 300 anak tangga atau menggunakan lift. Tatkala tiba di puncak, pengunjung akan disuguhi pemandangan impresif, hamparan Kota Chiang Mai yang terlihat jelas. Kuil ternama ini juga memiliki beragam candi berwarna emas mengilap, patung Buddha, lonceng, dan museum. Sebuah tempat yang indah dan damai untuk disambangi.

Pikat Chiang Mai yang berasal dari harmonisasi suasana kota tua dan peradaban modern, membuat kota ini layak didatangi kembali. Kian indah jika kita mengajak orang-orang yang dikasihi, kelak. [MR RAHAJENG KRISTIANTI]

Galeri

noted: menemukan damai di chiang mai

foto: Tommy Budi Utomo