Olahraga elektronik atau disebut e-sport sedang berkembang pesat di Indonesia. Maraknya bisnis kafe internet dan kompetisi e-sport menjadi salah satu indikasi. Industri ini diyakini bisa menghasilkan pundi-pundi besar.

Seperti dilansir dari laman BBC Inggris, e-sport merupakan kepanjangan dari electronic sports. Layaknya permainan olahraga yang dimainkan bersama-sama, e-sport juga dimainkan antarpemain gim profesional yang saling berkompetisi. Beberapa gim yang biasa dipertandingkan di eSport antara lain bergenre real-time strategy, figthing, first person shooter (FPS), dan multiplayer online battle arena (MOBA).

Tak hanya digemari orang dewasa, e-sport juga menjadi permainan favorit anak-anak. Namun, sebagian orangtua merasa khawatir dengan fenomena ini. Pasalnya, cukup banyak anak-anak yang keranjingan eSport hingga lupa waktu.

Menyikapi hal tersebut, pemerhati pendidikan anak, Seto Mulyadi atau akrab dipanggil Kak Seto mengemukakan pendapatnya terhadap pengaruh e-sport terhadap anak-anak. Menurut Kak Seto, kemajuan teknologi pada zaman digital sebaiknya jangan hanya dilawan, tetapi harus dimanfaatkan untuk perkembangan jiwa anak-anak.

“Salah satu kunci sukses untuk maju adalah adanya jejaring. E-sport memungkinkan anak-anak membangun jejaring serta berkomunikasi dan bekerja sama dengan pemain di berbagai penjuru dunia. Namun, anak-anak tetap perlu pendampingan orangtua,” ujar Kak Seto.

Kak Seto mengingatkan, walaupun permainan berbasis daring, pemain e-sport tetap perlu tatap muka dengan teman sepermainannya. Pasalnya, jika hanya bermain di dunia maya, hanya otak kiri yang berkembang. Kecerdasan emosional juga kurang terasah karena tak bertemu tatap muka dengan teman secara langsung.

E-sport memang terkesan baru populer sekarang, padahal permainan ini sudah ada sejak dulu. Berkat kemajuan teknologi dan pesatnya perkembangan jaringan internet, e-sport kini semakin mudah dinikmati siapa saja dan dari mana saja.

Pada pertengahan 2000-an, beberapa kompetisi MOBA mulai ramai dipertandingkan di dunia. Gim-gim yang sering dikompetisikan, antara lain Defense of the Ancients (DOTA 2), League of Legends, dan Counter-Striker: Global Offensive (CS-GO). Ada juga gim lain seperti Smite, StarCraft II, Call of Duty, Heroes of the Storm, Hearthstone, dan Overwatch.

Hadiah besar

Menariknya, kompetisi e-sport berani menjanjikan hadiah yang sangat besar. Contohnya, pertandingan gim tingkat dunia DOTA 2, The International 2016 yang memberikan hadiah uang tunai sebesar 9,1 juta dollar Amerika Serikat kepada juara pertama. Sebagai perbandingan, juara pertama Piala FA di Inggris hanya mendapatkan hadiah sekitar 2,6 juta dollar AS.

Pemenang dalam kompetisi DOTA 2 tersebut diraih tim asal China, T16: Wings Gaming yang beranggotakan 5 orang. Mereka berhasil mengalahkan tim Digital Chaos pada partai puncak dengan skor 3-1. Jika hadiah tersebut dibagi rata, setiap anggota berhak mendapatkan hadiah sekitar 1,82 juta dollar.

Seperti dilansir dari Guardian, berdasarkan penelitian Newzoo, penghasilan dari eSport diprediksi akan melonjak dari 130 juta dollar AS pada 2012, menjadi 465 juta dollar AS pada 2017. Dari sisi penonton pun demikian. Layaknya penonton pertandingan sepakbola, e-sport juga memiliki fans tersendiri. Penonton secara global diprediksi akan mencapai 385 juta orang tahun ini.

Bagaimana dari sisi pemain profesional e-sport? Sebagai gambaran, pemain e-sport profesional asal Korea Selatan, Faker (21 tahun), mengantongi 2,6 juta dollar AS per tahun. Jumlah tersebut masih di luar uang bonus dan sponsor.

E-sport di Indonesia

Ketua Umum Perkumpulan Olahraga Elektronik Indonesia (IeSPA) Eddy Lim menuturkan, perkembangan e-sport di Indonesia sangat pesat. Hal ini terutama terasa selama satu tahun terakhir. “Jumlah pemain yang ingin berprestasi di e-sport makin banyak, event organizer untuk event-event e-sport juga makin banyak,” tambah Eddy.

Menurut Eddy, e-sport layak disandingkan dengan cabang olahraga lainnya. Hal ini karena e-sport banyak menggunakan skill, kemampuan otak, konsentrasi, serta koordinasi antara tangan dengan otak.

“Saat ini, cabang e-sport yang paling digemari adalah DOTA 2, League of Legends, dan CS:GO.  Gim FIFA pun nantinya bisa masuk sebagai kategori e-sport. Untuk kategori mobile, ada gim seperti Arena of Valor,” ujar Eddy.

Di Indonesia, profesi sebagai pemain profesional eSport mulai digemari terutama di kalangan generasi Z (lahir 1990-an hingga 2000-an). Ramzi Bayhaki (20 tahun) bisa dikatakan salah satu pemain profesional e-sport yang mewakili generasi Z.

Ramzi terjun ke dunia e-sport sejak 2014. Awalnya dia tertarik bermain e-sport, DOTA, karena melihat permainannya yang menarik dan banyak teman yang memainkannya. Setelah dijalani sekitar 3 tahun, ternyata bermain gim ini bisa menghasilkan penghasilan tersendiri.

Hal ini terjadi saat Ramzi bergabung dengan tim profesional e-sport mulai dari Evos Esport hingga kini bergabung di PG Baracx. Selama bermain DOTA, ada beberapa prestasi yang diraih Ramzi. Mulai dari juara pertama AMD Place Tournament hingga menembus dua besar di turnamen level Asia Tenggara.

“Dari turnamen yang saya ikuti, total hadiah yang diterima sekitar Rp 50 juta–Rp100 juta. Setelah bergabung di tim, saat ini saya sudah memiliki penghasilan per bulan yang melebihi upah minimum regional Jakarta. Selain itu, tempat latihan, makan, hingga laundry semua sudah ditanggung,” ujar Ramzi.

Kafe internet

Pihak lain yang mendulang pundi-pundi dari industri e-sport yaitu kafe internet, yang sebenarnya merupakan evolusi dari warung internet (warnet). Jika dulu orang ke warnet untuk bermain internet, sekarang orang ke warnet atau kafe internet untuk bermain gim online (daring).

Salah satu pendiri kafe internet e-sport Supernova Yuri Kurniawan menuturkan, kemunculan kafe internet berperan besar dalam mendorong pertumbuhan e-sport di Indonesia. Yuri merupakan mantan pemain gim RPG dan memiliki komunitas yang besar di dunia gim online.

“Di Indonesia, masih banyak orang yang ingin serius dalam bidang e-sport, tetapi membutuhkan sarana tempat yang memadai untuk mengembangkan passion-nya. Oleh sebab itu, dibutuhkan keberadaan internet cafe untuk menunjang dan memenuhi kebutuhan para penekun dunia e-sport,” ujar Yuri.

Menurut Yuri, rata-rata per bulan, ada sekitar 2.500 pemain aktif yang bermain di kafe internet miliknya. Mereka biasanya bermain antara 2 hingga 8 jam. Dari segi usia, cukup variatif mulai dari 15 hingga 30 tahun. Dengan perangkat PC sebanyak 108 dan rata-rata harga per jam Rp 6.000, kafe internet Supernova bisa meraup penghasilan bersih sekitar Rp 20 juta–Rp 90 juta per bulan.

Selain menjadi pemain profesional dan pemilik usaha kafe internet, ada banyak bidang lain yang ikut mendulang pundi-pundi dari dunia e-sport. Eddy menuturkan, ada banyak bisnis yang berkembang di industri e-sport. Beberapa di antaranya yaitu event organizer turnamen e-sport, caster atau presenter, manajemen pro tim, dan media khusus e-sport.

“Industri olahraga tradisional juga akan terkena dampak jika pemain e-sport semakin banyak. Misalnya di industri yang memproduksi seragam atau jersey tim. Produsen sepatu hingga celana juga akan tumbuh seiring perkembangan industri ini,” ungkap Eddy.

Pemain yang sudah besar seperti dari industri telekomunikasi, produsen laptop, hingga distributor perlengkapan gaming juga diyakini akan meraup pundi-pundi dari industri ini. Apalagi mengingat e-sport sudah masuk ke dalam olahraga ekshibisi (tanpa medali) di ajang sekelas Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang. Bahkan, e-sport sedang dipertimbangkan masuk ke dalam cabang olahraga yang memperebutkan medali di Olimpiade 2024 mendatang. [INO]

Foto-foto Shutterstock.

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 5 Desember 2017