Dari pusat belanja berpenyejuk udara hingga warung sederhana di tepi jalan raya, menu ayam goreng bisa dijumpai dengan mudahnya. Mereka yang hidung bisnisnya cukup peka, kepopuleran kuliner tersebut bisa jadi peluang usaha. Apalagi sekarang, ada begitu banyak menu turunan ayam goreng, seperti ayam penyet, ayam gepuk, dan ayam geprek.

Kalau Olsen Chrisdinata mau mengulur pengunduran dirinya selama sebulan saja, koceknya bisa bertambah tebal karena uang komisi dari kantornya bekerja saat itu sudah cair. Namun, ia tak mau kehilangan momen.

Roda bisnis ayam gepuk yang dilakoni sejak Maret 2017 sedang bergerak cepat. Mengulur waktu berarti selama sekitar 30 hari ia harus membagi pikiran dan tenaganya untuk kantor dan usahanya yang saat itu—akhir tahun 2017—berencana membuka cabang ketujuh.

Olsen mengatakan, saat itu, ia dihadapkan pada dua pilihan: kantor yang adalah zona nyaman atau peluang berwirausaha. Ia berpikir, kalau dijalankan dua-duanya, malah berantakan semua karena konsentrasi terpecah. Olsen juga tak menyangka bisnis coba-coba tersebut ternyata berbuah manis.

“Namanya karyawan, waktu itu awalnya saya coba-coba cari bisnis sampingan. Kemudian memilih ayam gepuk karena proses pembuatan mudah dan rasanya enak. Dapat resepnya juga gampang dari YouTube. Ayam dibumbu kuning, kemudian digoreng, di-gepuk, selesai. Sambalnya juga enggak ribet, cuma cabe rawit, bawang putih, minyak wijen, minyak sayur, garam, dan kacang mete,” kata Olsen.

Setahun melakoni usaha ayam gepuk, kini Olsen mewaralabakan restoran ayam gepuknya. Lewat tujuh cabang yang tersebar di Jakarta, Tangerang, dan satu di Surabaya, dalam sehari ia bisa menjual sekitar 800 potong ekor ayam dengan omzet rata-rata per bulan sekitar Rp 140 juta–Rp 150 juta.

Usaha serupa dilakoni Dwi Harti, yang membuka warung makan ayam penyet di sebuah kompleks perkantoran di Jakarta. Bermodal buku resep yang ia beli beberapa tahun lalu, usaha yang dilakoninya mendatangkan hasil yang lumayan.

Dalam sehari, setidaknya ia bisa menjual sekitar 200 potong ayam dan menghabiskan setidaknya 2 kilogram cabe untuk sambal. Harga per porsi, lengkap dengan nasi dan lalapan sederhana, Dwi mematok harga Rp 18 ribu.

Baginya, proses memasak ayam penyet tergolong mudah dan cepat. Cuma butuh waktu sekitar 3 jam dari awal membuat bumbu sampai ayam siap digoreng. Ia menambahkan, menu ayam penyet yang saat ini sedang naik daun diakui Dwi jadi salah satu pendorong legitnya berbisnis makanan semacam ini.

Ya, ayam penyet semakin populer. Dalam laman CNN, Catherine Ling memasukkan ayam penyet—atau yang ia sebut flattened chicken—sebagai salah satu dari 40 makanan di Singapura yang “we can’t live without.

“Makanan ini asalnya dari Indonesia, tetapi sudah jadi kondang di Singapura dalam kurun beberapa tahun terakhir,” kata Catherine. Meski terbilang lauk yang mewah, harga daging ayam relatif lebih terjangkau. Apalagi kalau dibandingkan daging lain seperti daging sapi. Mengolah dan “memodifikasi” daging ayam pun lebih mudah.

Seperti yang dalam kurun waktu terakhir menjadi tren, memadukan varian ayam goreng dengan keju, entah itu sekadar ditabur ataupun dilelehkan. Kombinasi yang kemudian membuat racikan ayam goreng semakin bervariasi dan semakin santer dari mulut ke mulut atau lewat media sosial.

Mengomentari tren tersebut, Olsen mengatakan bahwa kreasi masakan ayam dengan tambahan keju dan lain sebagainya tak lepas dari gaya generasi milenial yang suka menjajal cita rasa baru dan memotret makanan yang fotogenic untuk kemudian dibagi lewat media sosial. Ini membuat usaha masakan ayam semakin legit dan menjanjikan. [ASP]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 21 April 2018