Marilah sejenak memandang Candi Borobudur tak sekadar sebagai tempat wisata. Susunan dan pahatan batu yang megah tersebut merupakan karya arsitektur yang filosofis, dalam, sekaligus jujur. Mewariskan kepada kita kebijakan yang berakar pada teladan lama.

Hari masih pagi. Langit biru dengan awan putih bersih memayungi Borobudur yang megah. Wisatawan sudah berdatangan. Dengan antusias mereka menapaki tangga-tangga batu Borobudur yang dingin.

Di spot yang menarik, mereka mengeluarkan kamera dan mengabadikan pemandangan. Sebagian lagi mengeluarkan tongsis lalu memotret diri sendiri dengan ekspresi seceria mungkin. Barangkali sedikit yang mencoba mendengarkan kisah yang diperam bangunan monumental itu.

Fondasi filosofis pembangunan Candi Borobudur datang jauh dari India. Dalam bukunya Wastu Citra, Mangunwijaya menyebutkan, arsitektur India pada dasarnya merupakan visualisasi keyakinan mereka. Manusia harus bergerak melepaskan diri dari yang maya menuju keheningan murni, keesaan Tuhan sendiri. Dalam ungkapan Kejawen, pandangan ini mirip dengan prinsip manunggaling kawula Gusti, menyatunya pribadi diri sendiri dengan Tuhan pada satu titik.

Filosofi tersebut diejawantahkan dalam bentuk fisik, maka kita bisa membagi Borobudur menjadi tiga lapisan pokok. Lapisan pertama yang luas menggambarkan manusia ketika masih dikuasai beragam keinginan, hasrat, atau nafsu. Hal ini bagaikan kama yang tanpa bentuk. Bagian ini pun disebut kamadatu.

Di atasnya, ada lapisan ketika manusia sudah masuk dalam kesadaran, tetapi masih “mencari jalan” karena keadaan yang ramai dan membingungkan. Kita menyebutnya rupadatu, tahap penuh rupa. Naik ke atas, manusia menuju kesadaran sejati, melebur ke dalam zat yang tanpa definisi, tanpa rupa: arupadatu. Di sinilah manusia menemukan keheningan yang penuh.

Di Borobudur, perjalanan hidup secara visual dibuat untuk mengikuti poros atau pusat. Stupa-stupa sebagai poros didirikan untuk dikitari searah jarum jam. Oleh karena itu, di candi tersebut kita diajak berkeliling mulai dari rupadatu ke arupadatu sambil merenungkan kehidupan Sidharta sejak ia masih menjadi pangeran hingga mencapai pencerahan. Perjalanan berkeliling itu disebut pradaksina.

Menariknya, konsep dasar perjalanan hidup manusia dalam arsitektur India juga tampak pada bangunan yang lebih modern, misalnya rumah. Rumah sebenarnya juga mengadopsi konsep ketiga datu. Lapisan pertama adalah dasar dan lantai, kedua tiang dan dinding-dinding, ketiga atap. Kuil-kuil di Thailand, Myanmar, dan lain-lain yang pucuknya meruncing juga memiliki prinsip yang sama dengan Borobudur.

Sementara itu, pradaksina juga terungkap dalam denah tata kota, terutama di Jawa. Di Yogyakarta misalnya, setiap benteng harus memiliki jalan dalam di sebelah dinding pertahanan. Pada hari-hari tertentu, rakyat mengitari benteng itu dalam hening, berpradaksina, tapa bisu namanya. Dengan penuh kesadaran, mereka mengelilingi poros yang dianggap pusat, pusering jagat.

Tak akan pernah habis kita mencerna begitu banyak makna yang terpahat pada relief-relief Borobudur. Dalam diam, candi itu menyuarakan kebijakan yang tak lekang waktu. [*/NOV]

noted: mencerna filosofi india di borobudur