Alarm berbunyi tepat pukul lima pagi. Kami bergegas mengenakan lapisan demi lapisan pakaian untuk menghangatkan tubuh. Menyiapkan diri disapa gigitan embusan angin yang merayap turun bersama kabut. Semua demi menikmati pemandangan matahari terbit yang muncul dari barisan lereng kaldera Gunung Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali timur.

Hanya berjarak sekitar dua jam perjalanan dari Denpasar yang riuh, Kintamani menawarkan sebentuk ruang untuk berkontemplasi dalam keanggunan alamnya.

Berada di ketinggian 1.500 meter, panorama alam yang cantik menjadi suguhan Kintamani. Yang utama, menikmati detik demi detik terbitnya matahari dari balik Gunung Batur hingga akhirnya sinarnya terpantul di permukaan Danau Batur. Elok dan anggun, hanya dua kata ini yang membekas di benak. Danau Batur sendiri merupakan danau terbesar di Bali dengan panjang 7 kilometer, lebar 2,5 kilometer, dan kedalaman 60–70 meter.

Matahari terbit di Gunung Batur ini pun bisa dinikmati dengan dua cara. Mereka yang ingin lebih bertualang dan merasa lebih dekat dengan sang sumber kehidupan biasanya memilih menikmatinya dari puncak Gunung Batur. Perjalanan trekking menuju puncak memakan waktu sekitar 2 jam sehingga keberangkatan biasanya dimulai pada pukul 2 pagi. Berbagai penginapan yang ada di Kintamani pun umumnya menyediakan paket tur ini untuk memudahkan turis, lengkap dengan pemandunya.

Bisa juga menikmatinya dari kejauhan, dengan berada di titik Panelokan, yang menyajikan sudut dan pemandangan terbaik untuk menikmati matahari terbit. Tak jauh dari Panelokan terdapat sebuah penginapan yang menjadi tempat favorit para pelancong backpackers, Lakeview Eco Lodge. Tamu hotel biasanya berdiri di teras restoran untuk menikmati pemandangan pagi di Kintamani ini. Ketika restoran mulai beroperasi, barisan kaldera, danau, dan Gunung Batur ini pun menjadi teman bersantap yang memanjakan indera penglihatan. Sementara indera pengecap tak kalah dibuai sajian khas Kintamani.

Pelengkap pagi

Menyeruput hangatnya seduhan kopi khas Kintamani termasuk dalam daftar wajib yang mesti dilakukan saat di Kintamani. Kintamani, yang juga terkenal dengan hasil perkebunannya dan menjadi salah satu pusat agrowisata di Bali, punya cara tersendiri menyajikan kopi. Bubuk kopi disangrai dengan irisan kelapa, baru kemudian diseduh sehingga memberi rasa gurih di balik nikmatnya rasa dan aroma kopi yang kental.

Tak ada salahnya tanyakan sajian ikan mujair bakar. Ia menjadi istimewa karena inilah salah satu kekhasan dari Danau Batur. Dagingnya tebal dan kenyal, serta berukuran besar. Rasanya pun sedap, apalagi dipadu sambal matah khas Bali. Kalaupun tak dijadikan sarapan, bisa menjadi menu santap siang yang menyegarkan.

Namun, aktivitas pagi di Kintamani ini belum selesai. Sempatkan segera menuju Desa Trunyan, salah satu desa Bali Aga atau Bali mula yang memiliki tradisi unik, berbeda dari suku Bali pada umumnya. Selain memiliki bahasa daerah yang berbeda dari bahasa Bali umumnya, Trunyan memiliki tradisi pekuburan yang membuatnya menjadi buah bibir di dunia internasional.

Jenazah tidak dimakamkan ataupun dikremasi, melainkan hanya diletakkan di atas tanah. Dibiarkan menyatu dengan alam. Uniknya lagi, tak ada bau menusuk yang keluar dari area pekuburan ini. Ini berkat kehadiran pohon besar bernama taru menyan yang menyebarkan wangi dan seolah menyerap seluruh bau. Taru berarti kayu, menyan berarti wangi. Konon, nama desa diambil dari nama pohon ini.

Dari Panelokan, hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit menuju Desa Trunyan dengan menggunakan mobil. Namun, sulit untuk tidak meminta pengendara menghentikan lajunya berkali-kali karena pemandangan sepanjang jalan begitu memikat. Jika sebelumnya memori kamera penuh dengan pemandangan Danau Batur dan Gunung Batur dari ketinggian, kini saatnya mengambil sudut dari bawah. Tak kalah cantik, tak kalah memukau.

Derak awan yang memayungi barisan kaldera Gunung Batur seolah bercermin dan terpantul di permukaan Danau Batur. Perjalanan ini pun menutup catatan pagi di Kintamani. [ADT]

Galeri

noted: mencerap pagi di kintamani

foto: M I Rani Adityasari dan Cecilia Gandes