Perjalanan kerap menjadi lebih berarti bukan karena apa yang tertangkap pancaindera, tetapi yang terasa jauh di dalam hati. Tempat tertentu menjanjikan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar keelokan lanskap, bau segar rerumputan atau harum kulinernya, maupun bunyi-bunyian yang merdu di telinga. Namun, pertama-tama, marilah lebih dulu mencecap keindahannya.

Seoul, Ibu Kota Korea Selatan, layaknya cekungan yang dipagari empat gunung. Puncak tertinggi Bukhansan di bagian utara, Namsan di selatan, Naksan di timur, dan Inwangsan di barat. Masing-masing gunung punya pesona berbeda, tetapi Inwangsan menawarkan sesuatu yang lain. Selain pemandangan yang memukau, di bukit dengan ketinggian 338 meter di atas permukaan laut ini terdapat desa tempat para belian berdiam, kuil-kuil, penduduk lokal yang rutin datang untuk berdoa, rumah-rumah khas Korea dengan mural tradisional di dindingnya, Fortress Wall of Seoul, dan pos pengawasan militer di dekat puncaknya.

Soo Min dan Seng Hyon, dua pelajar berusia belasan, mendadak menjadi pemandu wisata singkat siang itu, Jumat (9/10). Seorang pelancong mengambil jalan yang salah ketika akan menuju Inwangsan dari Stasiun Dongnimmun. Kedua pelajar itu pun mengarahkan. “Maaf, kami cuma bisa mengantar sampai sini,” ujar Soo Min ketika mereka sampai di sebuah gerbang yang dihiasi mural, pintu masuk Inwangsan. Pelancong itu mengucapkan terima kasih dan mulai menyusuri desa yang di banyak referensi disebut sebagai shaman village.

Derap sibuk Seoul seketika menguap. Jalan setapak berbatu, bunga dan rerumputan, udara bersih, pohon yang daunnya mulai menguning di pertengahan musim gugur, dan rumah-rumah khas Korea menyiratkan ritme kehidupan yang tenang. Mural-mural dengan corak tradisional menguatkan kesan hidupnya budaya di Desa Inwangsan.

Seorang pria tua keluar dari salah satu rumah. Berpapasan dengan orang asing, ia menjelaskan sesuatu dengan bahasa Korea bercampur gestur tubuh. Ia menunjuk ke arah atas, menangkupkan kedua tangan di depan dada, kemudian menaruhnya di perut. Meski tidak menangkap maksudnya karena terhambat bahasa, pelancong itu tersenyum dan menganggukkan kepala, lantas meneruskan perjalanan.

Setelah berjalan beberapa puluh meter dan menemukan situs doa di atas, barulah pelancong itu bisa menduga apa yang hendak disampaikan pria tua. Barangkali ia mau menjelaskan, di atas ada Seonbawi, batu zen yang dikatakan menyerupai biksu yang berjubah. Orang-orang biasa berdoa di tempat ini untuk mendapatkan keturunan. Seorang perempuan dan laki-laki duduk dan menundukkan kepala dengan khusyuk. Di pucuk-pucuk bebatuan yang menjulang, puluhan merpati bertengger.

Ketika sudah sampai Seonbawi, ambillah jalan setapak yang menuntun kita terus ke atas. Seiring dengan bertambahnya ketinggian, pohon-pohon merimbun. Musim gugur memang belum membuat daun-daun sepenuhnya memerah, tetapi perpaduan hijau, kuning, dan semburat jingga pun cukup untuk membuat Inwangsan bertambah elok. Lanskap kota Seoul tampak jelas dari celah-celah pepohonan.

Dalam perjalanan ke atas, kita akan menangkap betapa energi spiritual terasa kuat di Inwangsan. Di sebuah area, terdapat kotak kayu di pinggir jalan. Seorang pria lokal berhenti sejenak, menggeser sedikit tutup kotak kayu tersebut, memastikan lilin-lilin di dalamnya tak padam, lantas menutupnya lagi. Di titik lain, ada tempat untuk berdoa, lengkap dengan altar batu, lilin, bunga, dan sesajian.

Jalan menuju ke puncak berupa setapak yang dipagari Fortress Wall of Seoul. Di tempat tertentu, terdapat papan berisi larangan untuk mengambil gambar yang mengarah ke Blue House, kantor dan kediaman presiden. Beberapa petugas berjaga di sana, kadang menghampiri turis untuk mengecek kamera mereka dan memastikan foto-foto yang mereka ambil “aman”. Dari sisi lain Inwangsan, suara anggota militer yang sedang berlatih terdengar cukup jelas.

Hyun Chul Sim, seorang pria berusia 60-an yang saat itu sedang menapaki bebatuan Inwangsan bercerita, “Seumur hidup saya tinggal di Seoul, tetapi baru sekali ini mendaki Inwangsan, sayang sekali. Saya baru tahu tempat ini begitu indah, jauh lebih indah daripada yang saya bayangkan. Saya rasa saya akan sering mendakinya.”

Tak butuh waktu lama untuk mencapai puncak dari bawah. Jika berjalan santai, dalam 1,5 jam kita bisa mencapai pucuknya. Anak-anak, orang muda, sampai lansia ramai mengunjungi tempat ini. Perasaan yang mengemuka begitu sampai di titik tertinggi memang bukanlah rasa yang sama dengan kepuasan saat mencapai ketinggian di atas dua ribu meter yang membutuhkan perjuangan cukup berat. Perasaan itu lebih dekat dengan syukur lantaran batin menjadi lebih penuh setelah semua yang ditemui dalam perjalanan.

Inwangsan adalah tempat yang tepat untuk menyerap energi positif dari alam sekaligus spirit yang hidup dari penduduk di sekitarnya. Hal itu memang tak kasatmata, tak teraba, tetapi nyata terasa. [FELLYCIA NOVKA KUARANITA]

noted: Menapaki Inwangsan Memaknai Perjalanan