Sekali waktu, pergilah ke tempat baru sebagai pengelana, bukan wisatawan. Seperti kata Gilbert K Chesterton, pengelana melihat apa yang dilihatnya, sedangkan wisatawan melihat hanya apa yang ingin dilihatnya. Pengelana tidak sekadar menikmati keelokan yang terbentang di depannya. Ia merasakan dan belajar.
“Danau Kaolin? Ah ya, cakap tempat itu. Nanti kita sempatkan ke sana,†ujar Maridin, sopir sekaligus pemandu perjalanan yang membawa kami berkeliling Belitung. Logat Melayunya yang kental menegaskan ia orang asli Belitung. Lebih dari 50 tahun tinggal di tempat ini ia menjadi saksi perubahan wajah tanah kelahirannya, termasuk perubahan lingkungan yang sebentar lagi tampak di depan mata kami.
Mobil berbelok menuju semacam gang yang lebar. Terik membuat tanah di sekitarnya retak-retak karena kering. Jalanan yang kami susuri tak begitu mulus, tetapi hijaunya pemandangan kanan kiri pepohonan cukup menghibur. Tak lama kemudian, mata menangkap hamparan biru toska yang begitu cantik, yang disebut-sebut sebagai danau kaolin.
Air biru toska itu berada di cekungan besar dan kecil yang terbentuk dari hasil penambangan kaolin, bahan baku pembuatan keramik, bedak, dan pipa plastik. Tanah padat berwarna putih mutiara menjadi dinding-dindingnya. Menciptakan lanskap yang mengesankan. Langit biru yang berawan dan deretan pohon menambah cantiknya perpaduan warna Danau Kaolin.
Kolong, begitu orang Belitung biasa menyebut cekungan yang tersisa dari hasil pertambangan, yang sudah ditinggalkan dan terisi air menjadi atraksi baru bagi pelancong serta incaran para fotografer. Reaksi kimia air dengan mineral-mineral yang terkandung pada tanah bekas pertambanganlah yang membuat air berwarna biru toska.
Belitung memang kaya mineral tambang. Hampir di seluruh isi perut bumi Belitung Timur terdapat kandungan kaolin, pasir kuarsa, tanah liat, pasir bangunan, dan timah. Tambang telah menghidupi Belitung selama puluhan, bahkan ratusan tahun.
Namun, kini era keemasan itu telah lewat. Banyak lokasi pertambangan yang sudah ditinggalkan begitu saja. Menyisakan cekungan-cekungan menganga yang bahkan tampak lebih jelas dari ketinggian, seperti dari atas pesawat.
Ironi keindahan
Bukan hanya cekungan, bekas pertambangan meninggalkan masalah lingkungan yang lebih besar di Bangka Belitung yang menawan. Dari sudut pandang yang lebih lebar, kita bisa melihat bahwa setidaknya 15 sungai di Kepulauan Bangka Belitung berstatus rusak karena tercemar limbah organik dan logam berat akibat aktivitas perkebunan sawit serta penambangan timah dan kaolin.
Lahan-lahan yang rusak akibat kegiatan tambang memang seharusnya diolah kembali, revegetasi atau reklamasi dapat membantu menyelesaikan persoalan. Nyatanya, langkah itu belum sepenuhnya terealisasi. Ini juga mengakibatkan kawasan hutan makin tersisih.
Berdasarkan citra satelit pada 2004 saja, diketahui bahwa sekitar 378 hektare dari 657 hektare kawasan hutan di Bangka Belitung tergolong lahan kritis. Dari jumlah itu, kawasan hutan yang bervegetasi tinggal 17 persen dari luas daratan Bangka Belitung. Idealnya, area hutan yang bervegetasi mencapai 30 persen.
Hubungan manusia dan alam semestinya laras. Alam telah menyediakan diri untuk menghidupi manusia. Selayaknya kita mengembalikan apa yang sudah diberikan alam dengan merawatnya. [/NOV]
noted: menambang pelajaran dari danau Kaolin
foto: Fellycia Novka Kuaranita