Malam hari usai shalat berjamaah, warga berdatangan ke pendopo sederhana yang terletak di samping masjid. Laki-laki, perempuan, orang tua, serta anak-anak berkumpul dengan wajah yang memancarkan kebahagiaan.
Sementara itu, kaum ibu yang datang hampir semuanya membawa makanan yang ditata ke dalam berbagai macam wadah. Ada yang menggunakan tampah, keranjang, dan juga piring. Di antara makanan-makanan itu adalah apem, sayur tumpang, nasi kuning, nasi gurih, rempeyek, dan buah-buahan yang kemudian diletakkan di atas tikar di tengah-tengah pendopo.
Tak berapa lama kemudian, seorang tokoh masyarakat membuka acara dengan bahasa Jawa. Suasana pun menjadi hikmat, tapi terasa akrab.
Cuplikan di atas adalah sepenggal acara Kenduri Syawalan yang sudah dua kali saya ikuti saat mudik ke kampung halaman kakek di Dusun Jetak, Desa Tanjungan, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Di dusun ini beberapa tradisi memang masih bisa dijumpai. Misalnya saat menjelang bulan Ramadhan, warga melaksanakan tradisi “kondangan”, yaitu semacam doa bersama di halaman makam. Kemudian saat tiba bulan Syawal, warga kembali berkumpul untuk mengadakan Kenduri Syawalan.
Kenduri Syawalan yang dilaksanakan pada hari kedua lebaran Idul Fitri ini sangat berkesan bagi saya karena berlangsung penuh kesederhanaan. Pendopo tempat acara hanya berupa bangunan yang disangga beberapa tiang kayu, beratap genteng, dan tanpa dinding. Jaraknya sekitar 30 meter dari persawahan. Warga yang datang pun semuanya duduk lesehan dengan alas tikar. Semua itu membuat suasana khas desa sangat terasa.
Meski berlangsung sederhana, Kenduri Syawalan sangat kental dengan semangat gotong-royong dan kebersamaan. Meski tak ada keharusan membawa makanan tertentu, warga secara sukarela mempersiapkannya.
Warga juga menjadikan Kenduri Syawalan sebagai kesempatan untuk bersilaturahmi dan berbaur. Sambil menunggu acara dimulai, mereka saling bercengkerama dan bertukar cerita. Sering kali pula Kenduri Syawalan dimanfaatkan untuk bernostalgia dan menemui teman lama karena orang-orang yang pulang mudik dari perantauan biasanya tak akan melewatkan acara ini. Keramahan warga juga membuat “orang asing” seperti saya merasa nyaman berbaur di tengah-tengah mereka.
Hal lain yang mengesankan dari Kenduri Syawalan adalah semangat toleransi yang terpancar kuat. Meski digelar dalam suasana perayaan Idul Fitri, warga yang hadir bukan hanya umat Muslim. Saat inti acara kenduri, ulama setempat memimpin doa dan memberikan ceramah yang bersifat universal. Misalnya, ulama mengingatkan nilai-nilai utama dari semua agama yakni saling memaafkan, saling percaya dan cinta kasih antar sesama manusia. Ulama juga berpesan dan mengajak semua warga apa pun agamanya untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan demi kemakmuran bersama.
Setelah ceramah dan doa selesai, warga berdiri dan berjalan memutar untuk bersalaman satu sama lain. Tak sedikit di antara mereka yang berpelukan dan saling mengucap maaf.
Kenduri Syawalan diakhiri dengan makan bersama. Semua warga duduk mengelilingi hidangan dan bebas memilih makanan yang ingin dinikmati.
Di antara semua makanan yang ada, kue apem biasanya akan cepat habis. Penganan tradisional ini memang nikmat dan disukai banyak orang. Dalam tradisi Jawa, apem merupakan perlambang maaf. Oleh karena itu, saat memasuki bulan Ramadhan dan Syawal warga Dusun Jetak akan membuat apem dalam jumlah yang banyak.
Sebagai bentuk tradisi, Kenduri Syawalan memang tidak termasuk anjuran dalam agama. Namun, hal yang lebih penting adalah kesadaran warga yang menjadikannya sebagai sarana untuk mempererat silaturahmi dan memperteguh toleransi dalam kehidupan mereka. Ketika di antara kita hanya bisa berteori tentang toleransi dan sibuk berargumentasi tentang persatuan, warga Dusun Jetak sudah lebih dulu mengamalkan serta merawat keduanya. [HENDRA WARDHANA]