Salah satu tantangan pendidikan tinggi di Indonesia adalah belum ada kesesuaian kompetensi lulusan perguruan tinggi dengan kebutuhan industri. Saat ini, sebanyak kira-kira 62 persen mahasiswa mengambil studi di bidang sosial-humaniora dan 38 persen yang lain di bidang sains-teknik.

Padahal, kebutuhan insinyur di Indonesia sangat tinggi. Data dari Persatuan Insinyur Indonesia (PII) menyebutkan, pada 2015–2019 Indonesia kekurangan tenaga insinyur sampai 120 ribu orang. Dibandingkan negara jiran, proporsi insinyur di Indonesia masih rendah. Dari setiap satu juta penduduk, hanya ada tiga ribu insinyur di Indonesia. Sementara itu, di Singapura ada 28 ribu insinyur setiap satu juta penduduk.

Kesenjangan itu disebabkan antara lain belum adanya peta yang secara jelas menyatakan kebutuhan tenaga kerja dikaitkan dengan industri tertentu yang ingin dikembangkan. Ketika akan masuk perguruan tinggi, calon mahasiswa belum cukup punya gambaran tentang peluang profesi selepas ia lulus nanti. Sebagian calon mahasiswa memilih semata-mata berdasarkan minat mereka.

Namun, kita boleh lanjut bertanya. Jika begitu, mengapa hanya sedikit yang berminat di bidang eksak dan sains-teknik? Bisa jadi karena sistem belajar kita sejak sekolah dasar sampai menengah atas membuat kita merasa berjarak dengan sains. Metode pengajaran sains pun cenderung serius sehingga kita tidak merasa sains itu menyenangkan.

Tanamkan sejak dini

Jika kita ingin membentuk orang dewasa yang mencintai sains, bibit cinta itu harus ditanamkan sejak ia masih kanak-kanak. Eva Nurnisya, pegiat sains dan pendidikan, mengatakan, “Pengajaran sains bukan semata untuk mencetak ilmuwan, tetapi juga membantu berpikir logis. Anak-anak perlu kenal sejak dini agar mereka senang dulu dengan sains dan ketika dewasa tidak ada hambatan psikologis untuk memahami pelajaran-pelajaran sains.”

Peran guru dan orangtua menjadi kunci. Anak-anak bisa diajak memahami, sains bukanlah sesuatu yang jauh dengan keseharian. Untuk peristiwa-peristiwa tertentu, seperti mengapa air yang direbus mendidih, gasing dapat berputar, atau terjadi petir di angkasa, Anda bisa memberi anak penjelasan dengan bahasa yang mudah dipahami.

Di sekolah, pelajaran sains mestinya dipadukan dengan metode-metode percobaan yang membuat anak lebih aktif sekaligus paham. Di rumah, eksperimen dapat dikemas menjadi permainan yang mengasyikkan. Inisiatif orangtua untuk mau mencari tahu tentang sains dan eksperimen apa saja yang mungkin dilakukan di rumah juga amat diperlukan.

Hal penting lain, orang yang lebih dewasa semestinya tidak memupus rasa ingin tahu anak dengan mengabaikan rasa penasarannya atau menganggapnya terlalu banyak bertanya. Bahkan ilmuwan Einstein mengatakan, bukan bakatnya yang membuatnya menjadi jenius. Ia hanya bertekun dan setia dengan rasa ingin tahunya.

Anak-anak yang diberi kesempatan untuk mengeksplorasi sekitar akan tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih bisa mengambil keputusan, termasuk keputusan akademis. Sebagian mungkin akan menjadi ilmuwan atau insinyur. Sebagian lagi bergelut dengan bidang lain. Namun, seperti kata Eva, mereka sudah memiliki bekal berharga, tentang bagaimana belajar berpikir. [NOV]

Foto Shutterstock.

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 3 Juni 2017