Pengembangan kegiatan wisata di Kabupaten Sleman terus meriap. Tidak melulu mengandalkan keelokan alam, kini budaya, interaksi, dan keseharian masyarakat menjadi daya tarik besar. Wisata pedesaan pun menjadi panglima untuk memajukan pariwisata daerah ini.

Sore itu, kendaraan kami menuju ke bagian utara Daerah Istimewa Yogyakarta, lalu berbelok di gang bertanda Desa Pentingsari. Kini kami berada di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut, berjarak sekitar 12 kilometer dari puncak Merapi. Jalanan pedesaan yang bersih dan rapi, rerimbunan pohon, dan rumah-rumah penduduk yang tertata menyiratkan betapa terawatnya desa ini.

Dengan dibantu petunjuk arah, kami sampai di sekretariat desa, rumah Ketua Desa Wisata Pentingsari Doto Yogantoro. Seperti rumah-rumah lain di desa ini, pekarangan rumah itu cukup luas dan ditumbuhi beragam pohon. Di sisi selatan rumah terdapat kolam ikan.

Doto bercerita, adanya kolam ikan dan tanaman pangan di setiap rumah memang menjadi salah satu bagian dari kesepakatan bersama. Tujuannya, penghijauan dan kemandirian. Kesadaran untuk menjadi masyarakat yang mandiri memang terus digaungkan di Desa Pentingsari sejak desa ini mencanangkan diri untuk menjadi desa wisata pada 2008.

Pada 1990-an, Pentingsari mendapat predikat desa miskin dengan pendapatan masyarakat yang relatif rendah. Padahal, potensi desa cukup besar dengan luas 103 hektare dengan komposisi lahan pekarangan, perkebunan, sawah, ladang, dan daerah aliran sungai. Kendalanya, kondisi desa cukup terpencil karena belum baiknya akses.

Masyarakat bertekad keluar dari kondisi kemiskinan itu. Alam dan lingkungan dirawat sehingga hasil bumi dan kekayaan alam meningkat. Pada 2008, warga Pentingsari memberanikan diri menjadi tuan rumah bagi masyarakat luar dengan membuka desanya sebagai desa wisata. Hal ini diharapkan menjadi cara untuk meningkatkan taraf ekonomi sekaligus membangun kesadaran untuk merawat desa.

“Pendekatan desa wisata ini kami pilih karena kami rasa pariwisata bisa menjadi cara untuk melibatkan seluruh komponen masyarakat. Ada yang menyediakan homestay; memasak; menjadi guide; menjadi pelatih outbound; memberi pelatihan tari, karawitan, atau membuat wayang suket. Dengan bergerak bersama, mereka menjadi pelaku, bukan hanya penonton atau bahkan obyek,” ujar Doto, Jumat (8/9).

Segala potensi desa pun pelan-pelan dioptimalkan. Saat ini Pentingsari sudah memiliki beragam program wisata desa, seperti live in, kemah, trekking, atau out bound. Wisatawan juga bisa mengikuti kegiatan seni/budaya (belajar gamelan, menari, membatik, membuat wayang rumput, membuat janur); perkebunan dan peternakan (pengolahan kopi, jamur, cokelat atau terlibat dalam kegiatan peternakan kambing, sapi, atau perikanan); serta pertanian (membajak sawah, menanam dan memanen padi, atau mengenal bagaimana merawat tanaman herbal).

Pemerataan

Setiap tamu yang bermalam di Pentingsari menginap di homestay atau pondok wisata, rumah penduduk yang menyediakan kamar untuk wisatawan. Kami tinggal di kediaman Sumardi, tetua sekaligus perintis desa wisata Pentingsari.

Rumahnya dikitari banyak sekali jenis tanaman. Ia memang gemar bertani dan menjadi ketua beberapa kelompok tani di desa itu. Sumardi juga mendata puluhan jenis pohon di Pentingsari dan jumlahnya, misalnya pohon sengon, mahoni, aren, cengkeh, pala, atau cendana. Catatannya itu dibuat tabel dan dikliping sehingga orang lain bisa membacanya.

“Kalau di pesawat boleh membawa pohon, ya saya bawakan saja ini sekaligus dengan potnya. Jadi bisa tanam di rumahmu,” ujar Sumardi sambil tersenyum seraya menunjuk ranting-ranting tanaman brotowali yang akan dibawa pulang untuk diseduh.

Di tengah udara Sleman yang makin malam makin dingin, rumah Sumardi memberikan kehangatan. Selain karena teh panas dan suguhan ampyang, pisang goreng, serta keripik jamur, cerita-cerita tentang desa yang dikisahkan Sumardi serta candaan-candaannya membuat suasana begitu cair.

1310-LANGGAM_3
1310-LANGGAM_6
1310-LANGGAM_5
1310-LANGGAM_4
1310-LANGGAM_1
1310-LANGGAM_2
1310-LANGGAM_7

Warga Pentingsari yang lain juga dibiasakan menerima tamu. Jumlah homestay terus bertambah. Dari hanya 10 pada 2008, saat ini ada lebih dari 50 pondok wisata. Jumlah pengunjung mekar hingga saat ini Pentingsari menerima 30–35 ribu wisatawan dalam setahun. Omset per bulan berkisar Rp 150–200 juta.

Pemerataan menjadi kunci dalam pengelolaan wisata berbasis komunitas ini. Sistem pembagian pondok wisata diatur oleh pengurus desa. Begitu pula dengan pemandu wisatawan, digilir agar semua mendapat bagian. Setiap rumah menerima tamu hanya selama 5-6 hari per bulan. Hal ini penting diterapkan agar warga tetap bisa beraktivitas lancar sesuai kondisi aslinya. Bertani, berladang, atau sekolah, sehingga kehidupan alami warga desa tetap berlangsung. Karena ini pulalah yang menjadi magnet berkembangnya sebuah desa wisata.

Prinsip pemerataan di Pentingsari ini sudah dipegang sejak lama. Ketika berjalan-jalan di desa, Doto menunjukkan antir, infrastruktur untuk membagi air. Bentuknya seperti bak kecil empat sisi yang bertingkat, dengan lubang-lubang yang mengalirkan air di masing-masing sisi.

“Titik pengaliran air dibuat menurut jumlah keluarga di sini. Sisi yang bagian bawah untuk keluarga yang rumahnya di sebelah kanan dan kiri antir. Untuk yang rumahnya di bawah, air dari lubang antir dikumpulkan lagi, lalu di bawah dibagi menurut jumlah keluarga, lalu langsung dialirkan ke pipa. Ini adalah cara bagaimana membagi tanpa merugikan,” terang Doto.

 Belajar dari lingkungan

Mengikuti kegiatan yang ditawarkan desa tak luput dari agenda. Hari berikutnya, kami berencana membuat wayang suket dan menyambangi situs-situs yang menjadi atraksi alam dan sejarah Pentingsari.

Pagi itu, lelaki paruh baya yang dipanggil Mbah Gono itu duduk di teras rumah Sumardi. Ngadiono, nama aslinya, akan mengajarkan kami membuat wayang suket. Suket dalam bahasa Jawa berarti rumput. Di samping Mbah Gono, sudah ada segenggam rumput mendong kering, bahan membuat wayang

“Dulu anak-anak desa sering membuat wayang suket untuk dolanan,” kata Gono sambil mencontohkan cara merangkai rumput-rumput itu, Sabtu (9/9). Tangan tak terampil kami mencoba mengikutinya. Menekuk, melipat, dan mengayam rumput. Dengan ketidakrapian di sana-sini, jadi juga wayang rumput bikinan kami. Karya yang mungkin tak elok itu pun sudah memantik tawa kecil kami, yang memang baru pertama kali membuat wayang suket.

“Besok di Jakarta coba dipraktikkan lagi. Kalau tidak ada mendong, bisa pakai sedotan,” kata Gono.

Setelah selesai membuat wayang, Gono mengajak kami berkeliling desa, melihat potensi alam dan tempat-tempat bersejarah desa ini, seperti yang dikisahkan Sumardi sebelumnya. Berjalan kaki menuju tempat-tempat itu, sepoi sejuk angin dan hangat matahari yang menerobos lewat celah-celah dahan menemani kami.

Kami menyeberangi jembatan dan menyusuri Kali Kuning. Setapak itu menuntun kami menuju Pancuran Sendangsari. Pancuran itu melekat pada tebing setinggi lebih dari 10 meter yang ditumbuhi paku-pakuan. Airnya mengucur ke semacam kolam kecil berdinding batu. Masyarakat sekitar percaya, ini adalah tempat bertemunya Nawang Wulan dan Joko Tarub.

Setiap situs di desa itu punya cerita. Kami juga menyambangi Batu Dakon yang dikatakan sebagai tempat mengatur strategi perang dan meramal nasib pada masa perjuangan mengusir penjajah Belanda. Tak jauh dari Batu Dakon, terdapat Luweng yang digunakan sebagai alat masak warga untuk menyediakan konsumsi bagi tentara Pangeran Diponegoro ketika perang pada 1825–1830.

Perpaduan rapinya pengelolaan, kooperatifnya penduduk desa, dan apiknya potensi alam dan budaya menjadikan Pentingsari semakin solid sebagai wisata desa. Desa ini telah mendapatkan sejumlah penghargaan, antara lain Juara I Lomba Desa Wisata se-Daerah Istimewa Yogyakarta (2009), Appreciation for Best Practise on Tourism Ethics at Local Level from World Committee on Tourism Ethics – UNWTO (Juni 2011), dan juara III kategori ekonomi pada Indonesia Sustainable Tourism Award 2017.

Berlibur di desa, kita mendapatkan pengalaman yang berbeda. Bukan pertama-tama keelokan alam atau kemewahan, tetapi pelajaran tentang makna hidup dalam kebersamaan. Sesuatu yang kini jauh lebih mahal.

Oleh FELLYCIA NOVKA KUARANITA & MI RANI ADITYASARI

Foto-foto Iklan Kompas/E. Siagian.

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 13 Oktober 2017