Inovasi harus terus dilakukan saat berbisnis. Prinsip itulah yang dianut oleh Arif Noerhidayat (29). Setelah 5 tahun “berjibaku” dengan bisnis fotografi dan videografi dengan bendera Comes To Arra (CTA), Arief memberikan sentuhan baru pada bisnisnya. Dia merampai dunia visual komunikasi yang digelutinya dengan teknologi informasi.
CTA merupakan sebuah perusahaan yang dirintis Arief bersama adiknya Rizki Wisnuaji sejak 2009 dengan badan hukum CV. Awalnya, perusahaan ini bergerak di bidang fotografi. Mulai dari menerima order foto pranikah, pernikahan, hingga foto fashion. Namun, semenjak Arief pulang dari studi S2-nya di Inggris, CTA memang ditargetkan untuk terbang lebih tinggi lagi.
Pada pertengahan 2014, CTA berubah bentuk menjadi bentuk perseroan terbatas (PT). Struktur organisasi pun menjadi lebih lengkap dengan kehadiran beberapa orang yang mengisi posisi direksi. Arief mengatakan, perubahan ini karena CTA sudah saatnya menjadi sebuah perusahaan yang sebenarnya.
“Dulu kita sistemnya palugada, apa lo mau gue ada. Tetapi, sekarang, kan, tidak bisa seperti itu. Penggabungan dengan IT pun bukan tanpa alasan. Kami melihat pasar ini memang mulai ramai, tetapi masih banyak peluang yang bisa digarap, seperti pembuatan situs web korporasi. Namun, sekarang ada peluang lain yang masih besar, yaitu sistem untuk mengakomodasi supply chain management,” ujarnya.
Menembus luar negeri
Selama ini, CTA memang sudah memiliki banyak klien yang kebanyakan dari luar negeri dalam hal pembuatan situs web. Portofolionya pun semakin banyak setelah sistem supply chain management mereka mulai dipasarkan di sebuah marketplace khusus untuk perangkat lunak, contohnya Envato Market. Kliennya pun meliputi berbagai macam industri, antara lain kuliner, ritel, kelistrikan, dan kelautan.
Sudah ada dua program yang dilepas di Envato, yaitu Simple Work Order Management System dan Advanced Work Order Tracking System. Sudah banyak orang yang membeli program ini. Chief General Manager Maraden Saddad mengatakan, CTA juga melakukan pendampingan dan pelatihan bagi klien yang membeli program ini. “Semua komunikasi dan konsultasi dilakukan melalui dunia maya. Baik lewat surel, pesan instan, atau video call melalui Skype.”
Ranah supply chain management ini masih terbuka lebar. Arief mengatakan, orang-orang masih menganggap supply chain management itu hanya untuk logistik. Padahal, hal tersebut merupakan sebuah sistem yang mendukung seluruh divisi dalam perusahaan, antara lain marketing, humas, hingga sumber daya manusia.
Semua itu terhubung dalam sebuah situs web korporat. Di dalamnya, ada dua hal penting, yaitu backend dan frontend yang bisa digunakan untuk lingkup internal maupun eksternal perusahaan. Nah, masih banyak perusahaan Indonesia yang melihat hal tersebut secara terpisah. Padahal, situs web itu sudah seharusnya tidak hanya sekadar untuk alat pemasaran semata, tetapi juga mendukung kinerja dan operasional perusahaan.
Untuk itu, semua situs didesain dari nol untuk menyesuaikan dengan kebutuhan perusahaan. Hal ini penting karena setiap perusahaan memiliki ciri khas dan gaya yang berbeda satu sama lain sehingga tidak bisa semuanya dipukul rata dengan sistem yang sama.
“Selama ini, orang melihat dunia TI itu kaku. Situs ya standar seperti kebanyakan situs. Comes To Arra hadir untuk melenturkannya. Situs dibuat menarik dengan komunikasi visual yang indah dan mendukung efektivitas perusahaan. Ada foto berkualitas, konten yang informatif, dan sistem yang menunjang operasional,”ujar Arief.
Sekarang, klien CTA tersebar di berbagai negara baik level perseorangan maupun korporasi. Chief General Affair Maraden Saddad menambahkan, untuk level korporasi masih didominasi oleh level usaha kecil menengah (UKM). Walaupun, sebenarnya CTA juga memiliki klien kelas kakap di bidang minyak dan gas.
Kesuksesan kini kian terasa. Dari modal awal sekitar Rp 100 juta, CTA sudah bisa mencapai break even poin dalam waktu dua bulan. Chief Marketing Officer CTA Rinaldy Resinanda mengatakan, setiap bulannya keuntungan yang didapatkan hampir setara dengan nilai modal. “Tahun ini, kami akan lebih fokus dan mendorong banyak perangkat lunak terkait supply chain management sembari menguatkan merek CTA di pasar,†ujar Rinaldy.
CTA pun tak meninggalkan akar bidang perusahaannya. CTA masih menerima permintaan foto produk dan lainnya, hanya saja dibatasi. Arief menuturkan, pembatasan permintaan itu juga karena untuk hubungan baik saja dan memperluas jaringan pemasaran. Selain itu, CTA juga menerima penciptaan produk TI lainnya seperti e-learning, e-marketing, dan lainnya.
“Intinya, kami ingin membuat setiap perusahaan itu memiliki rumah mereka sendiri. Tidak lagi ngontrak di WordPress, Wix, atau Weebly. Kami membantu mereka menciptakan rumah virtual mereka sendiri yang sesuai dengan budaya perusahaan sendiri dan menjadi identitas sendiri. Yang paling penting, produk kami tidak mahal dan fleksibel,” ujar Arief.
Mengatasi kendala
Hal yang masih menjadi kendala dalam operasional CTA adalah sumber daya manusia. Arief, Rinaldy, dan Maraden sepakat akan hal itu. Bidang kerja CTA membutuhkan orang-orang yang memiliki kemampuan spesifik. Misalnya, orang yang tidak sekadar jago pemrograman, tetapi juga tekun dan memiliki sisi seni.
“Peng-coding-an untuk situs sebenarnya memiliki sisi seni. Karena, seperti yang sudah kita sebut, CTA memiliki ranah di bidang komunikasi visual juga yang membutuhkan sentuhan di sisi seni,” ujar Maraden.
Selain itu, masalah yang lain lagi adalah konten. Dalam satu situs web, konten juga penting. Selama ini, Arief sendiri yang memegang masalah konten. Namun, lama kelamaan waktunya sudah tidak leluasa lagi. “Pada akhirnya, kami semua multitasking. Kami memang masih membutuhkan SDM yang andal dan bisa mengikuti cara kerja kami.”[VTO]
noted: melenturkan dunia teknologi informasi