Teriakan “Merdeka” membahana di linimasa media sosial, menyambut kemerdekaan ke-72 Indonesia. Rangkaian harapan dan doa untuk negara diselipkan dan tak sedikit di antaranya menyisipkan harapan pribadi, mendapatkan kebebasan finansial. Tidak repot bekerja, biarkan uang yang bekerja untuk kita. Jika sudah sampai di titik ini, selamat, Anda sudah berada di tahap bebas secara finansial.

Kebebasan finansial artinya memiliki beberapa jenis investasi, relatif aman, dan hasilnya bisa untuk mencukupi kebutuhan per bulan sesuai dengan gaya hidup yang diinginkan. Anak muda Indonesia dewasa ini kian rajin menilik produk-produk investasi maupun membuka usaha, alih-alih mendedikasikan seluruh hidup menjadi pegawai kantor, dibandingkan generasi sebelumnya.

Tentu saja untuk mencapainya perlu kerja keras dan kerja cerdas, dengan perilaku keuangan yang juga cerdas. Artinya, menurut Kepala Perencana Keuangan OneShildt Financial Planning Agustina Fitria Aryani, menyadari kemampuan menghasilkan uang dan bisa mengaturnya agar mencukupi kebutuhan hidup. Baik kebutuhan hari ini maupun kebutuhan masa depan.

Strategi utamanya adalah membagi penghasilan berdasarkan tiga pos keuangan, yakni untuk tabungan (idealnya 20 persen, minimal 10 persen dari penghasilan), fungsi sosial sebesar 2–10 persen dari penghasilan, dan sisanya untuk pengeluaran rutin.

Menurut Fitri, persoalan yang kerap ditemui saat ini adalah kemampuan mengendalikan diri yang minim pada individu, yakni terlalu banyak membelanjakan dana sehingga beban semakin besar. Akibatnya, penghasilan bulanan hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan saat ini.

“Padahal, manusia harus menyiapkan kebutuhan mendatang. Dana pensiun umumnya hanya bisa mencukupi 10–20 persen dari kebutuhan yang sebenarnya selama pensiun,” kata Fitri.

Sejak dini

“Perilaku keuangan orang dewasa hari ini dipengaruhi saat masa anak-anak. Agar punya kebiasaan keuangan yang baik, maka dari kecil mulai diajarkan cara mengelola keuangan. Dalam hal ini, pendidikan orangtua amat berperan,” tambah Fitri.

Pengenalan cara mengelola keuangan ini dilakukan secara bertahap, sesuai usia anak. Pada usia 3 tahun, yang menjadi periode anak untuk mengamati dan meniru, bisa menjadi awal untuk mengenal uang. Caranya, ajak anak berbelanja dan membeli kebutuhan. “Dari sini anak memahami, untuk mendapatkan sesuatu atau barang, ada yang harus dibayarkan. Jadi, anak juga mulai belajar pengenalan fungsi uang,” tambah Fitri.

Ia mengingatkan, pengenalan fungsi uang tidak hanya dari sisi untuk dibelanjakan. Uang juga memiliki fungsi sosial seperti berdonasi untuk keperluan amal. Dari setiap uang yang didapatkan, pada dasarnya dibagi menjadi tiga hal, yakni untuk ditabung, dibelanjakan, dan untuk kebutuhan sosial.

Pada usia 6–9 tahun, biasanya anak mulai mendapatkan uang saku. Cara paling sederhana dengan memberikan uang harian. Meski besarannya relatif, tergantung pada tiap keluarga, anak bisa diajarkan untuk selalu membagi dananya menjadi tiga, yakni untuk tabungan (30 persen), belanja (30 persen), dan sosial (30 persen). Dengan demikian, anak tidak serta merta menghabiskan seluruh uang sakunya untuk jajan sehari.

Untuk memudahkan, ajak anak menggunakan tiga toples berbeda untuk membagi uang saku yang dimiliki. Uang hasil tabungannya, bisa digunakan untuk membeli barang yang diinginkan sehingga anak pun membiasakan diri untuk selalu menabung terlebih dulu demi mendapatkan sesuatu.

Infografik : Iklan Kompas/ Edwin Anelia, Teks : Rani Adityasari

 

Pada usia 10–14 tahun, pemberian uang saku bisa diberikan dengan periode 3 harian ataupun mingguan. Pada tahapan ini, anak juga bisa mulai belajar menghasilkan uang dan dengan tetap melanjutkan kebiasaan membagi penghasilannya ke dalam tiga bagian. Melakukan hobi yang bisa memberi nilai tambah dan manfaat bagi orang lain, misalnya, bisa menjadi pilihan.

“Dulu waktu SMP, saya sering membuatkan lagu buat teman-teman kelas. Lumayan, per lagu saya jual Rp 50 ribu. Teksnya biasanya dari puisi teman-teman yang minta dibuatkan lagu itu,” ujar Putri (26), yang kini masih terus menjalani hobinya di bidang musik sebagai pekerjaannya. Dari hasil membuat lagu itu, ia pun berhasil membeli ponsel pertamanya pada saat duduk di bangku SMA.

Usia 15–17 tahun, anak memasuki tahapan berbeda. Biasanya, anak mulai diberi kepercayaan untuk mendapat uang saku bulanan yang juga memaksa anak lebih bijak dan cerdik dalam mengatur dananya per bulan.

“Mereka mulai punya kebutuhan khusus yang kadang harganya cukup mahal. Bisa jadi lebih mahal dari uang sakunya. Contohnya, ingin menonton konser, beli buku, atau gadget. Tapi dalam tahapan ini anak juga harus tahu, jika tabungan tidak cukup, harus belajar menahan diri,” tambah Fitri menanggapi periode remaja yang juga kerap bertemu dengan tekanan pergaulan.

Belajar menahan diri menjadi cara untuk mengasah kemampuan membedakan keinginan dan kebutuhan. Psikolog anak dan keluarga Anna Surti Ariani Psi Msi menegaskan, pendidikan finansial bukan hanya soal uangnya. Yang paling penting adalah memilah kebutuhan versus keinginan.

Kemampuan membedakan kebutuhan dan keinginan ini akan membantu proses berpikir analitis, antara mahal dan murah, kualitas dan kuantitas, dan seterusnya. “Anak usia SD mulai bisa membandingkan harga, mana yang lebih murah, berdasarkan ukuran atau jumlahnya. Sementara pada usia remaja, bisa menilik lebih jauh soal nilainya. Misalnya, saat mau beli gadget, fitur apa yang sebenarnya paling dibutuhkan untuk sehari-harinya,” ujar Nina.

Tak perlu gadget yang super canggih dengan harga tinggi jika yang dibutuhkan hanya untuk kebutuhan media sosial dan chatting, bukan?

Menjadi individu yang melek finansial merupakan satu langkah menuju hidup berkualitas. Tak mungkin diciptakan dalam waktu semalam, melek finansial adalah sebuah kebiasaan yang dibentuk sedari dini. [ADT]

 

Foto Shutterstock.

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 21 Agustus 2017