Riga baru tiba di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, Jakarta Utara, ketika sebuah kincir menarik perhatiannya.

Dengan mimik penasaran ia menoleh pada Ayah dan bertanya, “Yah, buat apa kincir itu?”

Belum sampai menjawab, Kak Fira Sudah menyahut. Kak Fira berkata, kincir tersebut digunakan untuk menggergaji kayu.

“Kayu? Untuk apa, Kak?”

“Untuk memperbaiki kapal. Dahulu di sini ada galangan kapal besar, Dik.”

Riga mengangguk-angguk sambil melangkah mengikuti jalan setapak. Tidak jauh dari situ terdapat puing-puing bangunan. Kata Bunda, tempat tersebut digunakan untuk pemeriksaan kesehatan jamaah haji di zaman kolonial. Namun, sebelum ke tempat ini, para jemaah haji diperiksa terlebih dulu di Pulau Cipir. Yang sakit tetap di sana, dan yang sehat pindah ke Onrust menggunakan jembatan apung.

“Wah, aku jadi ingin tahu seperti apa dalamnya. Ayo kita ke sana!” ajak Riga seraya berlari mendekat bangunan tadi.

Setiba di sana ia memperhatikan semua sudutnya dengan seksama. Lantas mengeluarkan ponsel dan mengabadikannya.

“Kita ambil batu batanya, yuk, Kak! Buat kenang-kenangan. Biar bisa dipamerin ke teman-teman.” Riga menunjuk batu bata dari puing bangunan di depannya.

Gadis tiga belas tahun itu menggelengkan kepala. “Tidak boleh, Riga. Itu, kan, benda cagar budaya yang dilindungi oleh negara. Kalau mau kenang-kenangan cukup foto saja,” jawab Kak Fira.

“Hmm, kalau begitu aku ukir namaku saja, ya? Biar orang-orang tahu aku pernah kemari.”

“Hus! Apalagi mengukir nama di batu! Itu merusak bangunan bersejarah, Dik. Jangan!”

Bahu Riga turun mendengar ucapan Fira. Namun, tegak kembali begitu melihat deretan tonggak beton yang berjajar rapi.

“Itu apa, Yah?” Riga menggamit lengan Ayah dengan antusiasme.

”Itu pondasi barak jamaah haji, Dik. Jumlahnya tiga puluh lima buah. Tiap baraknya bisa menampung seratus orang.”

“Wah, satu ruangan sebanyak itu? Apa bisa tidur?”

Kak Fira, Ayah, dan Bunda tertawa mendengar ucapan Riga. Mereka berempat memutari tempat itu sejenak sebelum berpindah ke museum.

Di museum ini pengunjung bisa menyaksikan kejayaan Pulau Onrust di masa silam. Lengkap dengan miniatur yang memperlihatkan benteng dan galangan kapal. Juga gambar-gambar dan tiruan pulau semasa menjadi tempat karantina haji.

Tidak hanya itu saja, museum Pulau Onrust juga memamerkan berbagai hasil penggalian arkeologi. Seperti pecahan keramik, botol, dan batu bata.

Sayangnya, setelah itu mereka tidak bisa melihat seperti apa penjara di Pulau Onrust ini. Bangunan penjara di sini sudah rapuh dan membahayakan. Oleh sebab itu, pengunjung dilarang masuk.

Akan tetapi, kekecewaan tersebut tidak bertahan lama. Terobati sewaktu menjelajahi makam dan sisa benteng peninggalan Belanda.

“Bagaimana, Riga? Asyik tidak?” tanya Ayah dalam perjalanan pulang.

”Asyik, Yah! Kapan-kapan kita ke Pulau Onrust lagi ya?”

“Hm, masih ada peninggalan bersejarah di pulau-pulau lainnya di Kepulauan Seribu ini, seperti Pulau Edam, Kelor, dan Cipir,” ucap Kak Fira.

“Wah, boleh juga! Lain waktu kita jelajahi tiga pulau itu!” seru Riga disambut anggukan Kak Fira, Ayah, dan Bunda. *

 

logo baru nusantara bertutur

Oleh Tim Nusantara Bertutur
Penulis: Afin Yulia
Pendongeng: Kang Acep, Kak Aza, & Kak Fina (yt: acep_yonny)
Ilustrasi: Regina Primalita