Seiring pertumbuhan kota, ruang publik atau taman kerap dikesampingkan. Padahal, salah satu fungsi ruang tersebut adalah menjadi tempat pemenuhan kebutuhan bermain anak. Taman yang menjadi bagian dari alam mempunyai energi positif dan kebaikan untuk tubuh manusia, terlebih bagi anak. Di sini, anak bisa belajar soal lingkungan, interaksi antarmanusia, kebersihan, dan flora fauna.
Taman sejatinya harus menjadi katarsis masyarakat kota. Tidak melulu bicara soal pentingnya bagi penghijauan dan lingkungan, tetapi juga punya manfaat secara psikologis, ekonomis, sosial, dan berfungsi sebagai sarana rekreasi. Tak heran, setiap orang pasti senang saat berada di taman atau ruang terbuka dengan hamparan rumput dan rindangnya pohon-pohon besar.
Taman juga menjadi bagian penting bagi ekosistem kota, yaitu menyerap emisi karbon dioksida dan menggantinya dengan oksigen, pengendali iklim mikro, pelindung air dan tanah, dan memperbaiki kualitas udara dan air. Tidak hanya itu, taman pun berfungsi untuk memberikan ruang ekspresi bagi warga kota, terlebih untuk ruang bermain bagi anak.
Seorang psikolog anak Retno Dewanti Purba saat peluncuran kampanye Bright Future pada 2016 pernah mengatakan soal pentingnya bermain di taman bagi anak. Menurut Retno, bermain di taman merupakan sebuah bentuk eksplorasi anak pada lingkungan sekelilingnya, termasuk interaksi pada orang dewasa yang ditemui dan menjadi jembatan untuk bermain anak.
“Sebab, bermain pada dasarnya merupakan sebuah bentuk pembelajaran anak untuk untuk meningkatkan kemampuan kognitif, emosi, dan sosial,” ujarnya.
Survei
Sebuah survei di Amerika Serikat pada 2012 dan telah dipublikasi di Archives of Pediatric & Adolescent Medicine menunjukkan, setengah dari anak-anak prasekolah tidak menghabiskan waktu bermain di luar rumah dengan orangtua mereka setiap hari. Setelah mewawancarai hampir 9 ribu anak, survei ini menemukan fakta bahwa kurang dari 50 persen ibu dan hanya 25 persen ayah yang mengajak anaknya untuk pergi ke taman, setidaknya sehari sekali. Tidak memiliki waktu merupakan alasan terbanyak yang terlontar.
Hal ini mungkin juga terjadi di Indonesia. Namun, ada alasan lainnya. Erica (31) mengatakan, jarak menuju taman dengan rumahnya harus ditempuh dengan kendaraan. “Saya juga sering khawatir soal keamanannya. Tak banyak taman yang memang ramah untuk anak,” katanya.
Retno menjelaskan, taman yang baik adalah yang ramah anak, yakni memiliki daya pengantar untuk bermain dan belajar. Ya, sebuah taman bagi anak tidak hanya harus ada rumputnya dan lapang untuk berlari-larian. Setidaknya taman itu harus aman, yakni memiliki petugas keamanan dan sebaiknya terdapat kamera pengawas.
Taman juga harus nyaman agar emosi anak saat masuk ke dalamnya tidak takut atau cemas. Taman tersebut juga harus memiliki fasilitas bermain anak. Namun, fasilitas itu tidak sekadar permainan, tetapi juga permainan yang melatih sensorik anak. Misalnya, jungkat-jungkit yang melatih kerja sama dan kontrol tubuh, ayunan melatih olah tubuh anak, atau perosotan yang memupuk keberanian dan melatih kesabaran saat antre giliran.
Mengutip dari Kompas.com, panduan dari National Association for Sport and Physical Education menunjukkan, anak-anak harus mendapatkan setidaknya satu jam untuk beraktivitas fisik. Selain untuk membuat fisik anak terlatih, mereka juga bisa menghindari obesitas.
Manfaat lainnya bermain di taman adalah si kecil terbiasa untuk mencintai lingkungan. Jadi, saat besar nanti, mereka bisa lebih merawat dan menghargai lingkungan hidup karena sudah terbiasa hidup dengan alam. Si kecil juga akan lebih imajinatif dan kreatif karena mereka tidak hanya bermain satu hal, tetapi banyak hal. Anak juga akan perlahan terlatih keberaniannya karena lebih banyak bertemu orang lain dan binatang.
Orangtua mungkin akan khawatir saat si kecil jatuh atau tergelincir. Namun, bagi si kecil saat terjatuh di taman, hal ini akan membuat si kecil lebih waspada sehingga kemampuan observasinya lebih tinggi. Si kecil juga pasti terhindar dari defisiensi vitamin D karena sinar matahari di alam bebas bisa dengan mudah terserap oleh tubuh. [VTO]
Artikel terbit di Harian Kompas edisi 16 April 2017