Di atasnya, Tara memasang lentera dari botol bekas diisi sumbu sebagai tempat nyala api. Terakhir, ia memasang roda cikar-cikaran yang terbuat dari kulit jeruk bali.
Meskipun cikar-cikaran selesai larut malam, Tara tidak langsung tidur. Ia membuka buku Matematikanya. Besok aku harus mendapatkan nilai bagus biar tidak di-bully lagi, gumamnya. Tara segera menyalin perkalian di kertas kecil. Bahan untuk menyontek besok.
Kesokan harinya, Tara bangun dengan hati bimbang. Apakah ia bawa contekan itu atau tidak? Tara teringat nasihat bu guru.‘Ibu bangga apa pun hasil kalian, kerjakan dengan sungguh-sungguh. Jangan sampai menyontek. Akhirnya Tara mantap meninggalkan contekan yang telah ia buat semalaman.
Sampainya di kelas, ibu guru membagikan lembar tugas. Tara mengerjakan dengan waswas. Ia melihat teman-temannya saling bekerja sama memberikan contekan. Ia tetap teguh pendirian mengerjakan soal dengan kemampuannya.
“Teng… tengg… tenggg….” Bel berbunyi tiga kali. Menandakan waktu istirahat selesai. Waktunya pembagian nilai. Benar saja, angka 50 dengan spidol merah bertengger di lembar tugas Tara. Nilai paling rendah di kelas itu.
“Kamu sih, sok pinter tidak mau menyontek,” ucap Kadek, teman sebangku Tara.
“Ha-ha-ha, rasakan tuh nilai jelek, Wek! Dasar anak bodoh!” timpal Ardi.
Tara tak kuasa menahan sedih.
Di rumah, Tara menceritakan semua kejadian yang dialami kepada kakaknya. Malu-malu, ia sodorkan lembar tugas Matematika itu. Kak Cila malah tersenyum melihat nilai Tara.
“Almarhum Bapak dan Ibu pasti bangga sama Tara karena Tara sudah menjadi anak yang jujur. Lalu kak Cila memberikan Tara pelukan. Hangat, Tara merasakan orangtuanya menyaksikan mereka dari surga.
“Tara tidak harus mahir di semua bidang. Tara hebat sekali, coba lihat itu!” Kak Cila menunjuk ke arah lemari kaca penuh piala. Buah kemenangan Tara di setiap lomba melukis.
“Terima kasih ya Kak Cila. Tara janji akan tetap berperilaku jujur. Tidak sedih lagi kalau di-bully,” ucap Tara lirih.
Tara bertekad belajar lebih giat lagi. Tidak sekadar untuk nilai dan pujian, tetapi juga untuk menambah ilmu pengetahuannya.
Kak Cila mengusap air mata Tara. “Sudah ya, Tara tidak boleh sedih lagi. Yuk, abis ini, kita makan bubur suro!” Senyum kak Cila antusias.
“Kak Cila buat sendiri, ya?” tanya Tara.
“Ya dong, buat adik tersayang. Biar nanti malam semangat mainin cikar-cikaran-nya di pawai obor Muharram.”*
Penulis: Eva Lailatur Riska
Pendongeng: Paman Gery (Instagram: @paman_gery)
Ilustrasi: Regina Primalita