Begitu ia memecahkan cangkangnya, yang ada di hadapannya adalah tumpukan pasir. Sayapnya yang masih lemah ia paksakan untuk bergerak agar dapat menggali jalan keluar. Beratnya pasir menjadi tambahan beban bagi tubuh mungil Mali untuk dapat menerobos ke atas.
Ia coba mengepakkan sayapnya, tetapi terkadang pasir-pasir itu menimbun tubuhnya kembali. Sesekali ia tambahkan gerakan kepala agar mendorong timbunan pasir di depannya.
Satu hari berlalu, Mali masih terjebak dalam timbunan pasir. Pasir hangat ini bermanfaat bagi dirinya saat masih di dalam telur guna menjaga suhu telur tetap hangat. Hanya saja, setelah keluar dari cangkang timbunan pasir ini berubah menjadi tantangan.
“Kenapa ya, ayah dan ibu tidak membantuku saja menggali pasir ini?” gumam Mali.
Tak terasa sudah sampai pada hari kedua perjuangan Mali menembus daratan. Rasa sakit yang awalnya ia rasakan pada sayap dan tubuhnya perlahan berkurang. Gerakan tubuh yang ia buat untuk menembus pasir pun semakin luwes. Tiba-tiba matanya menangkap secercah cahaya dari balik timbunan pasir.
“Wah, ada cahaya! Aku yakin aku sudah dekat dengan daratan. Sesaat lagi aku bisa menemui ayah dan ibu,” gumam Mali.
Ia kian bersemangat. Kepakan sayapnya semakin kuat karena keinginan Mali bertemu ayah dan ibunya. Akhirnya titik-titik cahaya menjadi sebuah lubang besar yang menyilaukan mata. Mali berhasil mencapai daratan!
Di hadapannya, tampak ayah dan ibu menyambutnya dengan tersenyum.
“Anakku, selamat datang!” ujar ayahnya.
“Selamat, Nak! Kamu telah berhasil!” kata ibunya.
Mali merasa senang, usahanya terbayarkan sempurna. Namun, ia masih penasaran satu hal. “Kenapa ayah dan ibu tidak membantuku saat aku keluar dari cangkang?”
Ibu tersenyum, lalu berbisik, “Coba kepakkan sayapmu, Nak.”
Mali coba kepakkan sayapnya dan… Terbang! Mali bisa terbang tak berapa lama setelah ia menetas dari telur. Ia terkagum dengan pantai Pulau Sulawesi yang semakin cantik dilihat dari ketinggian.
“Kesulitanmu dua hari kemarin bertujuan untuk memperkuat dirimu agar sayapmu dapat digunakan untuk terbang. Begitulah burung maleo, kita siap hidup mandiri begitu menetas dari telur.” Ayah menjelaskan sambil tersenyum bangga.
Kali ini, Mali paham bahwa kita tidak boleh menyerah dengan kesulitan. Karena setelah berhasil melaluinya, kita akan menjadi sosok yang lebih kuat. *
Penulis: Ria Anindita
Pendongeng: Paman Gery (Instagram: @paman_gery)
Ilustrasi: Regina Primalita