Anda suka makan dim sum? Ah, makanan yang satu ini memang lezat. Porsinya yang mungil dan rupanya yang bervariasi membuat banyak orang jatuh hati pada dim sum. Namun, tahukah Anda jika dim sum awalnya dianggap tradisi yang kurang pantas?
Dim sum berhubungan erat dengan tradisi kuno yum cha (mencicipi teh). Saat itu para pengelana di Jalur Sutera butuh tempat untuk beristirahat. Kebetulan banyak rumah teh yang didirikan di sepanjang jalan tersebut. Selain teh, mereka juga disediakan makanan mungil yang dikenal dengan istilah dim sum.
Nah, awalnya tradisi makan sambil minum teh dianggap kurang pantas. Pasalnya, banyak orang percaya tradisi ini akan membuat berat badan menjadi berlebih. Namun, setelah beberapa lama, para ahli menemukan ternyata teh bisa membantu proses pencernaan. Oleh sebab itu, pemilik rumah teh akhirnya mulai menambahkan variasi dim sum.
Kini dim sum sudah menjadi makanan internasional. Beberapa negara bahkan mendirikan restoran khusus dim sum. Di Indonesia salah satu yang patut dicoba adalah Bamboo Dim Sum. Restoran berkonsep “All You Can Eat” ini memiliki beberapa cabang, yaitu di Tebet, Kelapa Gading, Serpong, Bintaro, dan Depok.
Berbeda dengan konsep restoran “All You Can Eat” lainnya, di sini Anda hanya perlu duduk lalu menunggu pramusaji datang membawa makanan. Ya, sistemnya adalah pramusaji akan membawakan beberapa makanan dim sum yang dibagi ke dalam tiga babak. Dari sekian banyak pilihan yang tersedia, kita cukup memilih dim sum yang disukai. Oh iya, aturannya adalah setiap porsi yang dipilih, tetapi tak habis dimakan akan dikenakan denda.
Nah, pada babak pertama, pramusaji akan membawakan aneka siomay. Jika dim sum siomay yang kita pesan sudah habis. Pramusaji akan memulai babak kedua. Nah pada babak ini giliran aneka dim sum goreng-gorengan yang disajikan. Setelah itu, di babak terakhir, giliran dim sum bakpao yang bisa disantap.
Jika masih kurang, pramusaji akan kembali menyajikan menu-menu yang kita mau. Selain aneka dim sum, kita bisa menikmati bubur dan teh tawar secara gratis serta free flow. [INO]
Foto dokumen Shutterstock.
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 6 September 2013