Andini siswa kelas empat di sebuah SD Negeri di Sempor, Kebumen, Jawa Tengah, daerah yang terkenal dengan waduk indahnya. Andini tiba di depan ruang kelas. Semua siswa yang masuk hanya boleh membawa pensil dan penghapus. Tas diletakkan di depan dekat meja pengawas ujian.
Andini mencari-cari pensil. Namun, ia tak menemukannya. Wajahnya pucat. Tadi, ia bangun kesiangan sehingga lupa memasukkan kotak pensil ke dalam tas. Ketika sedang bingung, tiba-tiba ia melihat ada pensil di dekat pintu masuk.
“Untunglah ada pensil jatuh. Aku ambil saja karena aku sedang membutuhkannya,” kata Andini dalam hati.
Andini menuju bangkunya. Ia merasa lega karena ia akhirnya menemukan sebuah pensil. Guru pengawas membagikan soal ujian.
Andini mulai menuliskan namanya pada lembar jawaban. Tiba-tiba ia mendengar suara isak seseorang. Ternyata itu suara Kania, temannya yang duduk satu baris di depannya.
“Ada apa. Kania. Kenapa kamu menangis?” tanya Bu guru Indah.
“Hu…hu, pensil saya hilang, Bu. Tadi saya yakin sudah membawanya. Namun, tiba-tiba tidak ada,“ jelas Kania tersedu.
Andini tertegun. Ia diliputi perasaan bersalah. Jangan-jangan pensil yang ia temukan di depan pintu kelas adalah milik Kania. Andini beranjak dan menghampiri Kania.
“Apakah ini pensilmu, Kania?” tanya Andini.
“Iya, benar,” jawab Kania.
“Tadi aku menemukannya di depan pintu kelas. Maafkan aku, Kania, aku malah memakainya karena lupa membawa pensil. Tadi, aku bangun kesiangan sehingga terburu-buru. Aku takut tidak bisa ikut ujian,” kata Andini sambil menunduk.
“Maafkan aku ya, Kania. Aku sangat menyesal,” kata Andini sambil mengulurkan tangan.
“Iya, Andini. Aku memaafkanmu.” Kania membalas uluran tangan Andini.
“Aku membawa pensil dua, Andini. Kamu bisa meminjam dariku,” kata Ali. Ali menghampiri Andini dan menyodorkan sebuah pensil kepadanya.
“Terima kasih, Ali,” kata Andini senang.
“Nah, Andini. Jika lupa membawa pensil, kamu bisa bilang ke ibu. Nanti temanmu yang membawa lebih, bisa meminjamkannya. Ibu juga bawa beberapa pensil, jika ada yang lupa atau rusak pensilnya. Lain kali, kamu persiapkan dahulu biar tidak ketinggalan, ya,” kata Bu Indah.
“Baik, Bu Guru,” kata Andini.
Andini kini merasakan, ternyata bersikap jujur itu indah. Dengan jujur, selain perasaan menjadi lega, ia mendapatkan jalan keluarnya.*
Penulis: Fitri Kurnia Sari
Pendongeng: Paman Gery (Instagram: @paman_gery)
Ilustrasi: Regina Primalita