Sore itu, Wani terkesan dengan satu layang-layang dari sekian banyak layang-layang lain yang sedang terbang di lapangan sepak bola desa. Layang-layang itu mengeluarkan bunyi mirip seperti pesawat. Wani kemudian mencari tahu siapa yang menerbangkannya. Ternyata itu punya Kiman, seorang anak laki-laki yang baru pindah sebulan lalu ke Yogyakarta dari Muna, Sulawesi Tenggara.

“Wah… layang-layangmu tampak bagus Kiman, kamu jago ya membuatnya?” tanya Wani.

“Ayahku yang membuatkannya. Kata ayahku, layang-layang ini disebut kaghati,” jawab Kiman sambil mengendalikan layang-layangnya.

“Wani ingin punya layang-layang seperti Kiman.”

“Boleh saja. Besok hari Minggu datang saja ke rumahku. Kita kan bertetangga.”

Malamnya di meja makan Wani menceritakan apa yang dilihatnya pada sore tadi ke ayah-ibunya.

“Memang Wani bisa menerbangkan layang-layang?” tanya ayahnya.

“Di desa, anak perempuan tidak ada yang bermain layang-layang, loh,” ibunya menimpali.

“Wani bisa, kok. Besok aku diajak Kiman tetangga baru kita untuk membuat layang-layang,” tanggap Wani.

Besoknya, pukul tiga sore, Wani sudah sampai di depan rumah Kiman. Kiman lalu mengajak Wani ke belakang rumah. Wani melihat berbagai macam ukuran layang-layang terpampang. Tampak pula ayah Kiman tengah menyelesaikan satu layangan. Pandangan ayah Kiman tertuju ke Wani. “Kamu teman baru Kiman?”

“Benar Pak,” jawab Wani.

“Sini, Bapak perlihatkan layang-layang yang Bapak buat!”

Sambil menunjukkan layang-layang yang ada, ayah Kiman bercerita bahwa layang-layang itu sudah turun-temurun dari kakeknya. Bahan-bahannya alami, yaitu bambu, daun nanas, daun janur, dan daun gadung.

“Fungsi daun-daun itu untuk apa, Pak?” tanya Wani.

“Daun nanas untuk benang, cara buatnya dijepit dengan dua batang kayu ditarik berkali-kali sehingga menghasilkan serat dan dipintal menjadi tali. Daun janur direkatkan pada sepotong bambu hingga menghasilkan bunyi-bunyian apabila tertiup angin. Bentuknya yang telah jadi seperti busur panah dan dipasang pada layang-layang. Nah, daun gadung menjadi pembungkus kerangka layang-layang,” papar ayahnya Kiman.

“Bagaimana daun gadung itu dipasang? Kan, daunnya tidak terlalu lebar?”

“Daun gadung dicapit lembar per lembar atau dighati dalam bahasa daerah Muna. Itulah sebabnya layang-layang ini disebut kaghati. Kaghati juga layang-layang pertama di dunia.”

“Wah, menarik sekali.”

Tiba-tiba Kiman berkata, “Yuk, kita terbangkan layang-layang di lapangan. Angin sedang bagus-bagusnya.”

“Ayo, Wani tidak sabar menerbangkan layang-layang bersejarah ini,” tanggap Wani riang.

Kiman dan Wani berpamitan pada Ayah Kiman. Keduanya lalu asyik bermain layang-layang. *

logo baru nusantara bertutur

Oleh Tim Nusantara Bertutur
Penulis: Saharul Hariyono
Pendongeng: Paman Gery (Instagram: @paman_gery)
Ilustrasi: Regina Primalita