Sebelum Starbucks berdiri pada 1971, masyarakat dunia tidak banyak minum kopi di kafe. Tetapi, setelah kehadirannya, ngopi menjadi gaya hidup.
Gaya hidup ini pun sudah menular di Indonesia. Meningkatnya kelas menengah Indonesia dan menjamurnya beragam kafe kopi mendorong tingkat konsumsi kopi.
Berdasarkan data Euromonitor, volume penjualan kopi siap minum di Indonesia pada 2023 diperkirakan mencapai 234 juta liter. Angka ini meningkat 4 persen dari tahun sebelumnya.
Sedangkan, berdasarkan situs Statista, pada 202o ada 2.331 outlet kopi di seluruh Indonesia yang berdiri.
Tentu saja hal ini baik jika dilihat dari sisi perekonomian Negara. Sayangnya, efenya adalah budaya konsumerisme yang tumbuh di masyarakat.
Kecenderungan untuk membeli kopi siap saji tidak dibarengi dengan kesadaran pengelolaan keuangan. Pembelian kopi hanya didasarkan untuk memenuhi gaya hidup semata.
Inilah yang disebut sebagai latte factor.Â
Apa itu latte factor?Â
Istilah latte factor merupakan sebuah kritik dari penulis dan pakar keuangan dari Amerika Serikat bernama David Bach terhadap kebiasaan membeli kopi masyarakat AS.
Masyarakat rela membeli secangkir kopi setiap hari atau bahkan membuang waktu di situ hanya untuk mengobrol. Dalam jangka pendek, harganya terlihat murah, tetapi dalam jangka panjang akan terlihat mahal.
Bach berpendapat bahwa pengeluaran tersebut jika bisa ditekan dan dialihkan untuk investasi akan bisa berdampak positif pada keuangan. Dalam perkembangannya, istilah ini semakin meluas dan tidak hanya untuk kebiasaan membeli kopi.
Sekarang, latte factor merujuk pada setiap kebiasaan receh yang dilakukan secara konsisten tetapi berdampak buruk bagi keuangan pribadi.
Untuk lebih jelasnya, mari membuat ilustrasinya. Kamu selalu membeli kopi seharga Rp 18 ribu setiap hari untuk mengawali hari, baik saat kerja maupun libur.
Jika ditotal maka pengeluaranmu 1 bulan untuk secangkir kopi bisa menghabiskan Rp 540 ribu. Angka ini belum biaya makan siang kamu yang selalu memilih untuk beli makan melalui layanan pesan antar. Ambillah rata-rata Rp 25 ribu selama 22 hari kerja. Total biaya makan siangmu sebesar Rp 550 ribu.
Dari dua elemen itu saja, biaya yang kamu keluarkan sebesar Rp 1.090.000. Ini belum termasuk cemilan, sarapan pagi hari, biaya nongkrong, rokok bagi yang merokok, dan lainnya.
Jika nilai tersebut bisa kamu alihkan setengahnya saja sebesar Rp 500 ribu dan secara konsisten ditempatkan di instrumen investasi dengan bunga 4 persen setahun. Maka, jika kamu konsisten lakukan selama 10 tahun, estimasinya kamu bisa mendapatkan kurang lebih Rp 73 juta.
Baca juga :Â 5 Tipe Kepribadian dalam Mengelola Keuangan
Kebiasaan receh lainnya
Beberapa kebiasaan receh yang masuk ke dalam kategori latte factor selain kopi adalah sebagai berikut :
1. Membeli makanan via online
Tidak ada salahnya dalam membeli makanan secara online. Mungkin kamu bisa mengurangi intensitasnya dengan membawa bekal dari rumah.
Jika tidak memungkinkan karena kamu merupakan anak perantauan yang sedang kost, berarti bisa ada bujet yang harus dipangkas, misalnya dengan tidak membeli kopi atau gaya hidup lain yang tidak terlalu penting.
Kamu juga bisa memilih merchant yang tidak jauh dari kantor agar biaya ongkos kirim tidak terlalu jauh. Selalu manfaatkan voucer promo untuk mendapatkan diskon.
2. Membeli cemilan di minimarket
Kebiasaan receh ini sering dianggap remeh. Tapi, karena harganya yang murah itu malah membuat kamu sering tidak menghitungnya.
Coba saja hitung biaya jajan kamu kalau sedang di kantor. Bisa dipastikan kamu terkaget-kaget.
3. Beli air minum kemasan
Mobilitas tinggi membuat kamu sering merasa haus. Biasanya kamu tidak sadar selalu membeli air minum kemasan. Walau harganya tidak mencapai Rp 10 ribu, tetapi tanpa disadari ini memengaruhi kondisi keuangan kamu.
Padahal, kamu bisa saja membawa tumbler botol dari rumah. Sebelum bepergian kamu bisa mengisinya di rumah atau di kantor.
Bagi sebagian orang, mereka tidak ingin tasnya menjadi berat. Namun, kembali ke pilihan, ingin tas berat atau keuanganmu yang menjadi berat?
Itu hanya sebagian kecil dari kebiasaan receh lainnya yang kerap kamu sepelekan. Masih banyak lagi kebiasaan lainnya yang berdampak buruk bagi keuangan kamu seperti pembelian impulsif, ikut tren kekinian, dan lain sebagainya.
Baca juga :Â 7 Langkah Menata Finansial di Awal Tahun
Cara mencegah latte factor
Memenuhi keinginan memang tidak salah, apalagi setelah kamu bekerja keras. Namun, memberi self reward juga tidak bisa dilakukan sembarangan.
Berikut ini ada beberapa cara yang kamu lakukan untuk mencegah masuk ke dalam latte factor.
1. Atur prioritas
Tentukan prioritas kebutuhan kamu dengan menyusun apa hal yang paling penting untuk dibelanjakan. Kamu bisa pake teknik 50/30/20 rule atau sejenisnya.
Pastikan prioritas itu terpenuhi dulu semuanya sebelum membeli barang lainnya.
2. Rutin catat pengeluaran
Pencatatan memang terkesan ribet, ya. Tapi, sayangnya ini cara yang paling mudah untuk bisa mencegah kamu masuk ke dalam lubang latte factor.
Jika kamu susah untuk mencatat, maka gunakan aplikasi pencatatan keuangan yang kini sudah banyak di toko aplikasi. Catat juga di note hp seluruh pengeluaranmu setiap hari dan lakukan rekapitulasi setiap minggu.
3. Alihkan ke investasi
Sisihkan uangmu di awal sejak menerima gaji dan alihkan ke instrumen investasi yang minim risiko, misalnya reksadana pasar uang atau pendapatan tetap.
Gunakan fitur autodebet agar uang kamu tidak terpakai secara tidak sengaja untuk kebutuhan lainnya.
4. Perhatikan rasio utang
Selalu gunakan fasilitas utang hanya untuk hal penting atau produktif. Jangan sampai lebih dari 30 persen rasionya.
Hal paling penting adalah jangan gunakan kartu kredit untuk memenuhi kebutuhan gaya hidupmu. Sebaliknya, kamu harus memiliki manajemen diri untuk menahan nafsu belanjamu.