Pada suatu sore di The Westin Jakarta, Tissa Aunilla membagi-bagikan dua butir cokelat. Yang satu berbungkus kertas aluminium emas, satu lagi perak. Ia meminta orang-orang yang hadir di situ merasakan cokelat itu lalu menebak, mana yang impor dan mana yang lokal.
Dalam waktu yang hampir bersamaan orang-orang itu membuka bungkus cokelat dan memakannya. Keduanya cepat lumer ketika bersentuhan dengan lidah. Yang berbungkus emas terasa creamy dengan asam buah-buahan. Sementara yang perak sepintas lebih pahit, lalu menyisakan sensasi yang samar-samar kita ingat seperti rasa cengkeh dan kopi. Lewat aklamasi singkat, banyak yang mengambil kesimpulan, yang berbungkus peraklah cokelat lokal.
“Dua-duanya berasal dari Indonesia. Yang emas ini dari Tabanan, Bali dan yang perak dari Flores, Nusa Tenggara Timur,” ujar Tissa.
Sebagian besar menggumam, betapa enak cokelat Indonesia. Tissa sendiri, yang kini membangun bisnis cokelat, pernah punya pengalaman serupa: ketakjuban akan rasa cokelat Indonesia. Suatu hari Tissa makan cokelat premium bermerek Felchlin dari Swiss. Pengalaman itu tak terlupakan. Tissa mendeskripsikan, ketika cokelat itu masuk ke mulut rasanya benar-benar lembut dan kaya. Ia juga menemukan wangi kismis pada cokelat itu.
“Ketika saya lihat labelnya, cokelatnya dari Jember!” kata Tissa. Ia terkejut karena selama ini tidak tahu bahwa Indonesia adalah salah satu penghasil cokelat bermutu tinggi.
Pengalaman itu menggugah Tissa untuk menekuni cokelat Indonesia. Dengan rancangan bisnis yang sederhana, lima tahun lalu Tissa menggagas Pipiltin Cocoa. Produknya beragam, mulai dari cokelat batangan sampai dengan aneka minuman dan kudapan. Misinya, mengenalkan cokelat dari Indonesia yang mengedepankan single origin.
Terbesar ketiga
Tanaman cokelat hanya tumbuh di rentang sempit 10–15 derajat dari garis khatulistiwa, yang disebut sabuk kakao (cocoa belt). Posisi Indonesia yang berada di ekuator membuat kita beruntung bisa menumbuhkan kakao di tanah kita. Indonesia adalah negara ketiga terbesar penghasil cokelat setelah Pantai Gading dan Ghana.
Dari sisi cita rasa, cokelat Indonesia memiliki keragaman yang luar biasa. “Rasa cokelat dipengaruhi microclimate seperti suhu udara, kelembaban tanah, curah hujan, dan lain-lain. Karena Indonesia adalah negara kepulauan dan dipisahkan laut, karakter tanahnya berbeda-beda. Itu membuat karakter rasa cokelat kita pun berbeda-beda,” tutur Tissa.
Sampai saat ini, Pipiltin Cocoa menggunakan cokelat dari Aceh, Jawa Timur, Bali, dan Flores. Pipiltin juga menuliskan kompleksitas rasa cokelat ini dalam bubble notes. Cokelat Aceh memiliki rasa kakao yang intens, juga kacang mede, tembakau, earthy, dengan samar rasa kopi, rempah, dan jali-jali. Cokelat Jawa Timur tinggi tingkat keasamannya berpadu dengan rasa kakao, madu, asam buah-buahan, creamy, dan earthy.
Cokelat dari Bali punya rasa krim yang kuat dengan kombinasi rasa karamel, asam buah-buahan, madu, kakao yang cukup intens, dan sedikit rasa gandum. Sementara itu, cokelat Flores meninggalkan jejak rasa cengkeh, kopi, tembakau, kakao, dan earthy. Biji-biji cokelat itu diambil langsung dari petani (direct sourcing).
“Pipiltin memang direct source ke petani. Tujuannya, agar mereka bisa mendapatkan harga yang layak, mengerti peran mereka, dan meningkatkan kualitasnya. Dengan begitu, kebunnya bisa lebih sustainable,” kata Tissa.
Perjalanan panjang
Sejak dipanen hingga siap kita santap, biji-biji cokelat menempuh perjalanan panjang. Garis start dimulai dari pemilihan biji. Untuk memastikan kualitas kakao, Pipiltin menerapkan sejumlah kualifikasi untuk biji-biji yang diambilnya.
Biji kakao tersebut harus difermentasi penuh selama lima hari bersama dengan daging buahnya (pulp). Fermentasi adalah proses kunci karena di sinilah cita rasa cokelat dibentuk, dibantu oleh enzim yang terdapat pada daging buah. Setelah itu, cokelat dikeringkan di meja dengan permukaan berlubang-lubang kecil (perforated table). Ketika dikirimkan, kelembaban biji harus pada kisaran 6 sampai 7 persen untuk memastikan biji cukup kering sehingga tidak busuk di jalan.
“Pipiltin juga menetapkan bean count 95; dalam 100 gram, hanya boleh ada maksimal 95 biji kakao. Ini untuk memastikan bijinya berat. Kalau berat, berarti fruktosanya tinggi. Kalau fruktosanya tinggi, berarti matang pohon,” jelas Tissa.
Proses berikutnya dilakukan Pipiltin di pabriknya di Kebayoran Baru. Pengolahan biji cokelat berlanjut dengan pemanggangan (roasting), pemisahan biji dengan kulit (winnowing), penggilingan cokelat (grinding), pelapisan partikel cokelat dengan cocoa butter (conching), pelelehan dan pendinginan cokelat (tempering), dan pencetakan (molding). Pada proses penggilingan, cokelat dihaluskan sampai partikelnya berukuran 25 mikron.
“Ukuran 25 mikron itu kira-kira sepertiga helai rambut kita. Otak kita merespons sesuatu sebagai benda cair kalau ukurannya di bawah 25 mikron. Ini untuk menjadikan cokelat meleleh ketika berada dalam suhu tubuh manusia,” tutur Tissa.
Setelah proses yang panjang itu, barulah cokelat siap diolah menjadi penganan. Pipiltin Cocoa menyajikan beragam cokelat batangan, minuman, kudapan, dan makanan penutup yang lezat sekaligus elok dipandang. Kita bisa menikmatinya di kedainya yang berlokasi di Sarinah Thamrin Plaza dan Grand Indonesia.
Dalam mengembangkan varian rasanya, Pipiltin kerap mengombinasikan cokelat dengan hasil bumi atau rempah-rempah khas Indonesia, misalnya bunga lawang, andaliman, kopi, dan jahe. Pipiltin juga menjual nibs atau isi biji cokelat yang ternyata sedap juga dikonsumsi langsung. Saat ini, produk-produk Pipiltin diekspor pula ke Jepang dan konsumen Jepang sangat menyukai karakter rasa cokelat Indonesia.
Ada kisah menarik soal pengalaman merasakan cokelat ini. Sampai beberapa tahun lalu, petani cokelat di Tabanan—yang sudah menghabiskan hampir seluruh usia produktifnya untuk menanam kakao—belum pernah merasakan cokelat. Suatu hari, Tissa bersama tim Pipiltin Cocoa membawa cokelat batangan hasil olahan kakao Tabanan.
“Setelah dua tahun Pipiltin buka, kami bawa lagi cokelatnya ke Tabanan. Mereka menjadi petani cokelat selama 30–40 tahun, tetapi belum pernah makan cokelat seumur hidupnya. Mereka terharu banget. Mereka bangga makan cokelat dari kebun mereka,” kata Tissa.
Mudah-mudahan kita pun bisa mengapresiasi kekayaan cita rasa cokelat lokal. Hasil panenan kebun kita sendiri, Indonesia. (Fellycia Novka Kuaranita)