Majalah NGI yang berada di bawah GRID Network sejak 2005 ini sering kali harus menyelaraskan kampanye yang diusung oleh kantor global menjadi ranah regional. Sering kali, pesan sebuah kampanye yang ingin disampaikan NGI global tidak serta merta dapat diserap begitu saja di negara lain. Misalnya, karena perbedaan kultur, demografi, dan kedekatan audiens terhadap isu yang jauh dari rasa “membumi”.
Dengan mempertimbangkan “kacamata” audiens lokal, kampanye global yang terkesan kurang lokal, dapat menjadi jalan keluar bagi masalah tersebut. Salah satu buktinya dapat dilihat melalui perbedaan tingkat kesuksesan kampanye yang dilakukan oleh majalah National Geographic Indonesia.
Seperti disampaikan oleh Didi Kaspi Kasim selaku Editor in Chief National Geographic Indonesia dalam webinar berjudul “Strategi Menerjemahkan Kampanye Brand Global dengan Kearifan Lokal”. Dalam webinar yang dimoderatori oleh Sulyana Andikko selaku HR Digital Transformation Academy Lead ini, Didi menyampaikan bahwa terdapat perbedaan antara dua kampanye global yang sudah dijalankan oleh National Geographic Indonesia, yaitu kampanye tujuh miliar manusia yang membahas tentang kelebihan populasi dunia dan kampanye penggunaan plastik dalam narasi #SayaPilihBumi.
Antusiasme 82 peserta yang hadir terlihat dari beragam pertanyaan yang diajukan berjalan interaktif hingga 2 jam.
Peran bahasa “lokal” dan simplifikasi topik
Pemaparan awal dibuka dengan pesan awal pada saat memulai kampanye, brand harus mampu mengidentifikasi masalah seputar isu global dan lewat gerakan kampanye mampu hadir sebagai sebuah solusi yang memberi dampak. Kampanye “7 miliar manusia”, yang merupakan global campaign yang digaungkan oleh NGI tidak bergulir terlalu baik. Sejumlah faktor menjadi penyebab kampanye ini tidak mendapat engagement seperti yang diharapkan.
“Permasalahan itu tidak dianggap exist oleh audiens, (mereka) merasa kalau malam-malam kita masih bisa berdiri di tengah Monas dan enggak ada orang, persoalan itu tidak akan menjadi relevan (sehingga) orang merasa permasalahan itu (overpopulated) bukan problem (di Indonesia),” jelas Didi.
Pendekatan berbeda kemudian dilakukan oleh NGI saat mengangkat isu perubahan iklim. Dalam kampanye ini, NGI mencoba untuk menerjemahkan pesan kampanye menggunakan bahasa yang dekat (familier) dan pesan yang relevan dengan masyarakat Indonesia.
“Perubahan iklim itu persoalan yang terlalu rumit dan canggih, kami menemukan bahwa perubahan iklim itu permasalahan (yang dianggap) ‘kita bisa ngomongin, tapi kita gak bisa bayangin’, jadi orang menganggap bahwa ini persoalan para orang pintar yang semacam ilmuwan dan tingkat tinggi gitu (bukan urusan mereka),” ungkap Didi.
Isu yang merakyat
Dalam kampanye perubahan iklim, NGI melakukan tone down isu perubahan iklim dan mengangkat isu plastik sebagai inti dari kampanye baru bertajuk Planet or Plastic? yang digaungkan secara global.
“Kita merasa kesulitan untuk berbicara tentang perubahan iklim. Perubahan iklim is a long hard fighting battle. Lalu kita sepakat mengerucutkan perubahan iklim jadi lebih spesifik ke penggunaan single use plastic,” lanjut Didi.
Dalam strategi eksekusi kampanye tersebut lantas diterjemahkan menjadi ‘Bumi atau Plastik?’ agar timbul nuansa kedekatan pesan yang ingin dibangun. Didi menjelaskan, meskipun kata “planet” cukup mudah dimengerti sebagai bumi, akan tetapi masyarakat Indonesia lebih sering menggunakan kata “bumi” dalam kesehariannya.
Didi lanjut menjelaskan, dengan tone down isu dan penggunaan bahasa keseharian yang lebih ‘lokal’, masyarakat menjadi lebih relatable secara emosi dan pesan dari NGI bahwa masalahnya begitu gamblang, Indonesia merupakan penyumbang plastik terbanyak kedua di dunia setelah China!
Selain pesan, Didi juga memaparkan bahwa kesuksesan kampanye di level lokal juga didukung kolaborasi yang baik dengan berbagai kalangan. Sebagai contoh, dalam gerakan #SayaPilihBumi, yang merupakan gerakan sosial dari turunan kampanye ‘Bumi atau Plastik?’, komunitas peduli lingkungan dan berbagai brand turut berperan dalam suksesi kampanye ini. Total 39 juta impression dalam kurun waktu 2018-2019 berhasil diraih.
Didi menutup pemaparannya bahwa saat pesan yang ingin disampaikan sudah kuat, kekuatan kolaborasi (co-creation) dengan berbagai pihak, baik komunitas maupun brand agar mampu menggulirkan isu lebih kencang lagi tak terelakkan.
Kognisi adalah platform berbasis edukasi persembahan Kompas Gramedia yang dibangun pada Mei 2019. Kognisi secara periodik juga mengadakan webinar yang terbuka untuk publik. Informasi lebih lanjut mengenai webinar Kognisi selanjutnya bisa mengunjungi akun Instagram @kognisikg dan situs learning.kompasgramedia.com (khusus karyawan Kompas Gramedia). Selamat belajar, Kogifriends! Stay safe, and stay sane!
Penulis: Aurina Indah Tiara; Penyunting: Sulyana Andikko; Ilustrasi: Ericha Surya Tantio; Ilustrasi: Ericha Surya Tantio