Butuh strategi, bahkan pengorbanan, apabila ingin menjadi mahasiswa yang membanggakan, terlebih pada masa pandemi Covid-19 yang hingga kini belum juga berakhir. Mahasiswa harus mau mengikuti serta menyesuaikan diri dengan peraturan dan tata tertib yang berlaku di kampus. Ini juga menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan sebuah perguruan tinggi mencetak generasi-generasi andal.
Tidak sedikit kebijakan atau peraturan yang diterapkan di perguruan tinggi yang kurang selaras dengan pribadi atau sifat yang kita miliki. Namun, hal ini tentu memiliki dasar kuat agar para lulusan nantinya bisa turut mengharumkan nama almamaternya, baik di dunia kerja ataupun lingkup lebih luas.
Sebelum mendaftar ke sebuah perguruan tinggi, tentu ada banyak hal yang patut dipertimbangkan, mulai dari pemilihan jurusan, lokasi kampus, akreditasi, hingga biaya kuliah dan program beasiswa. Hal ini dilakukan agar proses perkuliahan berjalan lancar serta mahasiswa dapat semakin mengembangkan bakal yang dimiliki.
Menjadi mahasiswa baru di sebuah perguruan tinggi, terlebih yang menjadi “incaran” banyak orang, amat menyenangkan. Dunia kampus seolah menjadi wahana yang memberikan begitu banyak atraksi yang wajib dinikmati. Namun, benarkah demikian? Semua tergantung dari diri kita, sampai sejauh mana kita dapat membawa diri ini menyesuaikan dengan sesuatu yang baru; teman baru, pengajar baru, peraturan baru, tempat belajar baru, hingga mungkin cita-cita yang baru pula.
Anggap saja setiap mahasiswa baru merasakan hal yang sama, yakni merasa bangga dan gembira karena berhasil duduk di bangku perkuliahan. Namun, apakah rasa senang dan semangat tersebut senantiasa mengiringi setiap proses belajar mengajar di kampus hingga waktunya wisuda tiba? Atau hanya sesaat, dan setelah itu terasa hambar, apalagi pada semester-semester berikutnya bertemu seorang dosen “killer”?
Strategi
Tentu hal tersebut menjadi momok bagi para mahasiswa. Di sinilah butuh strategi agar semangat untuk menjadi yang terbaik tetap dipegang teguh. Fokus dengan tujuan, hilangkan kejenuhan dengan kegiatan-kegiatan positif, serta membentuk komunitas yang dapat meningkatkan energi positif merupakan upaya bijak yang bisa diambil. Karena pada dasarnya, perkuliahan tidak semata-mata sebuah rutinitas, tetapi juga sebuah proses pembentukan jati diri. Oleh karena itu, niat yang kuat merupakan sebuah keharusan agar diri kita bisa terbentuk sesuai apa yang diharapkan.
Awal perkuliahan merupakan masa-masa kritis bagi seorang mahasiswa. Pada masa transisi ini, mahasiswa harus mampu menyesuaikan diri terhadap akademis perguruan tinggi dan nilai-nilai sosial. Meski tidak mudah untuk beradaptasi dengan orang-orang baru, hal ini harus terus diupayakan agar interaksi, baik dengan dosen maupun mahasiswa lainnya, dapat berjalan lancar.
Sebagai agen perubahan di dalam masyarakat, mahasiswa juga senantiasa dituntut memiliki kepedulian terhadap lingkungan di sekelilingnya. Seorang mahasiswa, dengan ilmu yang dimiliki, juga diharapkan mampu menjadi seorang pemikir dan pencetus peluang-peluang usaha bagi masyarakat luas. Dengan talenta serta prestasi dan inovasi yang dimiliki, mahasiswa diharapkan dapat membawa bangsa ini menjadi bangsa yang semakin disegani.
Terus beradaptasi, berprestasi, tidak mudah menyerah, optimistis, serta tidak cepat berpuas diri, merupakan kunci menjadi seorang mahasiswa, yang tidak hanya membanggakan, tetapi juga menjadi role model bagi orang di sekitarnya.
Semangat
Hal tersebut diamini Shinta Zoya Larasati (19), mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Medan, Sumatera Utara. Tetap semangat merupakan kunci agar cita-cita dapat diraih, terlebih di masa-masa pandemi yang nyaris setiap aktivitas berjalan secara daring.
“Dulu, sebelum memasuki masa perkuliahan, sempat terbayang, seru ya bisa belajar di sebuah meja besar di kelas yang dipenuhi dengan sejumlah peralatan menggambar dan dikelilingi teman-teman. Namun, hingga kini, hal tersebut masih menjadi sebuah impian karena dari awal masuk kuliah hingga sekarang saya memasuki semester kedua, belum sekalipun menginjakkan kaki di kampus tersebut karena pandemi Covid-19,” ujar Zoya, panggilan akrabnya.
Namun, hal tersebut bukan menjadi penghalang bagi anak kedua dari dua bersaudara ini. Meski hingga kini proses perkuliahan berjalan secara daring, tugas yang diberikan dosen dikerjakannya dengan sungguh-sungguh. Dengan video conference, Zoya secara tekun mengikuti setiap mata kuliah yang diberikan. Beragam aplikasi daring juga ia unduh untuk dapat berkomunikasi dengan teman-temannya dari berbagai penjuru karena perguruan tinggi ini juga diminati dari luar kota Medan.
“Memang terkadang agak sulit, karena arsitektur sering berkaitan dengan gambar-menggambar. Nah, jika melalui online, banyak gambar yang kadang kurang jelas. Tidak cuma gambar, penjelasan dari dosen juga beberapa kali ada yang kurang dapat dimengerti bila dilakukan melalui video conference. Namun, dengan membaca beberapa sumber serta melakukan diskusi dengan teman-teman, hal ini dapat terselesaikan,” ujar calon arsitektur tersebut.
Tantangan tersendiri juga timbul dengan adanya sistem perkuliahan secara daring. Saat belajar kelompok, misalnya. Ada saja anggota yang malas untuk belajar menyelesaikan tugas secara bersama-sama. Tentu, ini membuat anggota lainnya menjadi ikut malas.
“Memang kadang ada saja teman yang malas sehingga ikut memberikan atmosfer kurang baik buat yang lainnya. Untungnya, masih banyak teman yang tetap fokus dan bersemangat untuk terus belajar dan menyelesaikan tugas kampus. Bila kita pintar, berhasil, lalu siapa yang bangga? Ya, kita dan orangtua kita juga kan!” tegas mahasiswi asal Jakarta tersebut.
Tentu, masih banyak kisah lain yang dimiliki para mahasiswa pada masa pandemi ini. Sekali lagi, kedisiplinan menjadi sebuah keharusan agar kita, sebagai generasi penerus, bisa sukses menjadi agen perubahan bagi bangsa ini.