Jauh di beranda selatan Indonesia, Pulau Rote menyimpan berbagai potensi budaya dan wisata yang menarik. Sejak lama, warga lokal di salah satu pulau di Nusa Tenggara Timur ini memanfaatkan pohon lontar dalam membangun peradaban dan budaya mereka. Di samping itu, berbagai wisata alam yang sangat indah di sana menunggu untuk dikunjungi.

Pulau sejuta lontar, itulah nama yang tepat disandangkan Pulau Rote. Pulau yang berada di Kabupaten Rote Ndao, Provinsi Nusa Tenggara Timur, ini memang memiliki banyak pohon lontar yang terpancang di mana-mana. Tidak hanya di pesisir Pulau Rote, pohon lontar ini juga tumbuh hingga perbukitan yang kering.

Bagi orang Rote, pohon lontar turut membangun peradaban dan budaya mereka sejak 1.000 tahun yang lalu. Mulai dari batang, bulir daun, pelepah, nira, tulang daun, buah, sabut, hingga pucuk dari pohon lontar memberikan kehidupan penduduk di sana. Bahkan, bibir bayi yang baru saja lahir diolesi air nira lontar terlebih dahulu sebelum menyusu pada ibunya sehingga tidak salah jika banyak yang menyebutkan, di dalam darah orang Rote mengalir air nira.

Budayawan Rote Abia Mandala (69) di Ba’a, mengatakan, lontar pertama kali tumbuh di Nusak (kerajaan) Ringgou, Rote Barat Laut pada 1400-an. Sejak itu, lontar berkembang ke seluruh daratan di Pulau Rote. Mengenai penyadapan nira lontar, legenda tua menyebutkan kebiasaan ini dilakukan pertama kali oleh nenek moyang dari Maluku. Keterampilan leluhur ini diwariskan turun-menurun menyebar ke seluruh penduduk Rote hingga saat ini.

Selain nira, warga Rote memanfaatkan batang, pelepah, dan tulang daun untuk membangun rumah. Daun juga dikreasikan menjadi perkakas dapur, alat timba air, dan penghias alat musik sasando. Pucuk daun dimanfaatkan untuk menganyam topi lokal tiilangga dan pembungkus tembakau (rokok) tradisional.

Di samping khas akan pohon lontarnya, Rote Ndao memiliki beberapa potensi wisata yang patut dilirik. Obyek wisata yang sangat indah di antaranya Pulau Ndana. Pulau yang terletak di Kecamatan Rote Barat Daya ini merupakan cagar alam, terletak sejauh 20 menit perjalanan menggunakan perahu motor dari mulut pantai Bo’a dan Nemberala. Dikelilingi pasir putih dengan ombak cukup menantang untuk berselancar. Di tengah pulau terdapat danau merah yang dianggap keramat. Di danau ini juga terdapat pedang yang pernah dipakai seorang tokoh adat bernama Sangguana untuk membasmi musuhnya.

Selain Pulau Ndana, Pantai Bo’a dan Pantai Nemberala juga menarik dikunjungi. Kedua pantai ini terkenal dengan pasirnya putih yang cantik menawan. Ombak di pantai ini dikenal dengan delapan kali gulungan, yang menjadi tantangan bagi peselancar dunia. Bahkan, setiap September–Oktober, Pemerintah Kabupaten Rote Ndao bersama organisasi di Bali rutin mengadakan lomba selancar bertaraf internasional di pantai ini.

Perjalanan menuju Pantai Nemberala dapat ditempuh menggunakan kapal motor cepat dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam dari Kota Kupang. Tiba di Ba’a, ibu kota Kabupaten Rote Ndao, perjalanan dilanjutkan menggunakan mobil angkutan atau ojek sepeda motor menuju Nemberala sejauh 25 kilometer atau sekitar 30 menit perjalanan. Jika ingin bermalam di Pantai Nemberala, tersedia sedikitnya 50 cottage dan 3 hotel berbintang di sana.

Ada juga Pantai Oeseli, pantai pasir putih yang dihiasi banyak batu cadas. Ombak di Pantai Oeseli tidak besar, sangat nyaman untuk berenang. Untuk mencapai pantai ini, pengunjung dapat berangkat dari Nerembala menggunakan mobil dengan jarak tempuh sekitar 20 kilometer atau 1 jam perjalanan.

Selain topi tiilangga dan alat musik sasando, buah tangan khas yang patut diburu di Rote Ndao yaitu kain tenun ikat. Industri kain tenun ikat ini sangat berkembang di Rote Ndao. Bahkan, ditemukan tidak kurang dari 215 unit usaha tersebar di seluruh kabupaten ini.

Sumber : Litbang Kompas/Albertus Krisna, disadur dari “Jendela Indonesia Rote Ndao” Edisi iPad Sabtu, 2 Februari 2013.

noted: kilau pantai di nusa lontar