The Grand Old Man. Demikian presiden pertama RI Soekarno menjulukinya. Bung Hatta menyebutnya, Salim op zijn best, dengan merujuk pada kelebihan-kelebihan yang tak dimiliki banyak orang. Semua ini mengacu pada sosok Haji Agus Salim, ulama sekaligus intelek, yang kerap disebut sebagai bapak dari para bapak bangsa.

Ada sederet kepiawaian yang ditunjukkan pria kelahiran Koto Gadang, Sumatera Barat, 1884, ini semasa hidupnya. Lihai dalam dunia lisan dan tulisan, pandai berbicara dan berdebat. Gaya bahasanya kritis dan tajam, dengan cara penyampaian yang halus dan cerdas. Tak ayal, lawan pun kerap dibuat tak berkutik.

Diplomasi

Kemampuannya ini pun mengantarnya menjadi seorang lobbyist dan diplomat ulung dalam dunia internasional. Terlebih Salim menguasai, setidaknya, sembilan bahasa. Pengakuan negara-negara Arab atas kemerdekaan Indonesia pada 1947 antara lain juga merupakan jasa Salim bersama beberapa tokoh nasional lainnya.

Misi diplomatik ke Timur Tengah yang dilanjutkan ke Amerika Serikat itu segera menuai simpati dan dukungan masyarakat internasional. Posisi Belanda di Indonesia pun kian tersudut. Salim menjadi salah satu kunci dalam setiap kebuntuan perundingan antara Indonesia dan Belanda, yang ditunjang dengan ketajamannya menganalisa situasi.

Sementara melalui tulisan, ia mengungkapkan pemikirannya dengan lebih mendalam dan terkenal dengan sudut pembahasan yang tajam. Ia menguasai ragam bidang, mulai dari politik, agama, filsafat, sejarah, hukum, pendidikan, sosial, hingga ekonomi. Manusia ensiklopedis, demikian predikat yang disematkan untuk merangkum sosok Salim.

Melampaui zaman

Terlepas dari segala kepiawaiannya di dunia diplomatik dan politik, salah satu tokoh Syarikat Islam ini juga diakui sebagai sosok yang memiliki pemikiran melampaui zaman. Meski lulusan terbaik Hogere Burger School (HBS) se-Hindia Belanda, ia tidak ingin anak-anaknya mengecap pendidikan kolonial. Alasannya, ia tak ingin anak-anaknya melewati jalan “berlumpur” akibat pelajaran kolonial.  Oleh karenanya, ia mengajar langsung anak-anaknya di rumah.

Homeschooling, istilahnya dalam dunia pendidikan modern. Kendati demikian, anak-anak Salim dikenal memiliki kecerdasan intelektual. Penguasaan bahasa asing, seperti Belanda dan Inggris, dimiliki sejak usia dini. Kala itu bahasa Belanda menjadi sarana penting untuk mengakses informasi, pengetahuan, dan menembus dinding sosial.

Mulai mendalami agama Islam kala bekerja menjadi pegawai konsulat Belanda di Jeddah, lewat sang paman Syeh Ahmad Khatib yang bermukim di sana, Salim merupakan salah seorang cendekiawan Islam yang berpengaruh di Indonesia. Dengan kebijaksanaan dan pemahamannya yang luas, ia berperan besar atas isi rancangan Piagam Jakarta yang kemudian menjadi Pembukaan Undang Undang Dasar Republik Indonesia.

Isu kesetaraan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan juga dijamahnya. Dalam sebuah artikel di harian Neratja yang terbit pada 1917, Salim memaparkan pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan. Ia sadar, tanpa pendidikan setara antara laki-laki dan perempuan, kemajuan suatu bangsa sulit diraih.

Buah pemikiran lainnya juga bisa disimak melalui materi kuliahnya tentang Islam, kala diundang sebagai dosen tamu di Universitas Cornell, Ithaca, Amerika, selama musim semi 1953. Isi pemaparannya ini masih terasa relevan hingga hari ini sehingga kini dikompilasi menjadi sebuah buku.

Kontribusi

Kontribusinya pada bangsa dilakukan secara konsisten, memperlihatkan kesinambungan antara kata dan perbuatan tanpa dipengaruhi ambisi mengejar jabatan strategis. Prof Schermerhorn, politikus Belanda yang kerap berhadapan dengan Salim pernah menulis, orangtua yang sangat pandai itu seorang jenius dalam bahasa, mampu berbicara dan menulis sempurna dalam paling sedikit sembilan bahasa. Hanya satu kelemahannya, selama hidupnya melarat.

Bagi Salim, semboyan hidupnya adalah “Semua demi Allah”. Ia pun rela hidup dalam kesederhanaan, jauh dari kemewahan. Mengikuti ungkapan Belanda, leiden is lijden yang artinya memimpin adalah menderita, ditemukan sempurna pada sosoknya. [ADT]

Quotes:

“Dalam negeri kita, janganlah kita yang menumpang.”

Biodata

Tempat lahir: Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat
Tanggal lahir: 8 Oktober 1884
Wafat: 4 November 1954
SK Presiden: KEPPRES NO 657 TAHUN 1961

Opini

Sidik
“Orang Minang yang beruntung berkesempatan belajar dari berbagai sumber, berkemauan luar biasa untuk mengembangkan diri, tetapi tidak dalam gaya hidup dan materi.” –Sidik Ilmawan (Creative Development Rumah Pohon Production).
IMG-20141104-WA0005
“Agus Salim berjuang dan membangun Indonesia dengan caranya sendiri. Pun melalui jalur agama, banyak hal yang akhirnya menjadi manfaat dalam mencapai kemerdekaan RI. Meskipun seorang Muslim sejati, ia sadar betul bahwa bernegara di Indonesia itu penuh dengan aneka kepercayaan.” –Yesy Wahyuningtyas (Creative Producer)

Â