Sekitar dua jam sebelum mencapai pintu masuk Taman Nasional Meru Betiri dari arah Banyuwangi, beberapa waktu lalu, ponsel sudah tidak lagi menangkap sinyal. Begitu juga radio, yang kadang memutar lagu-lagu lokal. Di lintasan Pesanggaran–Meru Betiri itu, perjalanan tak lagi bisa diisi dengan hiburan digital.
Bukan berarti kami yang menempuh perjalanan itu tak terhibur. Deretan rimbun pohon ketapang, asem, dan pepohonan besar lain tak putus sepanjang jalan. Larik-larik matahari sore mengisi celah-celahnya. Menciptakan bayang-bayang gelap-terang yang dramatis.
Pemandangan berganti begitu kendaraan hampir mencapai Rajegwesi, daerah pantai nelayan. Di sisi selatan, tampak hamparan biru Samudra Indonesia. Di daerah itu pula, kami mesti berganti kendaraan dengan mobil berpenggerak empat roda, yang memungkinkan kami menempuh medan Meru Betiri.
Nanang, warga Rajegwesi yang menyewakan mobilnya dan menemani kami menyusuri Meru Betiri, menawari kami duduk di bagian atap mobil. Tawaran yang tidak kami lewatkan. Meski guncangan dari jalanan yang berbatu membuat tubuh terlonjak-lonjak, angin terasa lebih sejuk menjamah permukaan kulit. Kanopi yang terangkai dari ujung-ujung dahan kadang menyentuh dahi. Monyet-monyet ekor panjang berlompatan dari pohon ke pohon. Ketika mobil melintasi sungai, airnya menciprat tinggi sampai ke badan mobil.
Ragam petualangan
Taman Nasional Meru Betiri adalah salah satu dari tiga titik triangle diamond yang dijagokan dalam pariwisata Banyuwangi. Dua lainnya adalah Kawah Ijen dan Taman Nasional Alas Purwo. Konsep wisata berbasis alam ini diangkat kabupaten di Jawa Timur ini beberapa tahun lalu sebagai salah satu strategi mengetengahkan posisi vital Banyuwangi dalam kepariwisataan.
Bupati Banyuwangi Azwar Anas mengatakan, “Alam jadi bagian penting dalam pengembangan pariwisata Banyuwangi. Lebih dari 40 persen Banyuwangi adalah hutan, kebun, dan kawasan-kawasan taman nasional. Kami putuskan untuk menjadikan ekowisata sebagai konsep pengembangan pariwisata Banyuwangi.”
Meru Betiri menjanjikan ekowisata itu, bahkan menyuguhkan sesuatu yang kerap melebihi ekspektasi. Kekayaan alamnya tak perlu diragukan. Pada Maret 2016, UNESCO menetapkan Taman Nasional Meru Betiri sebagai bagian dari cagar biosfer dunia. Situs ini–termasuk juga daerah Alas Purwo, cagar alam Ijen, dan Taman Nasional Baluran–dipilih antara lain karena memiliki keunikan, baik dari sisi keanekaragaman hayati maupun budaya masyarakat lokalnya.
Meru Betiri adalah rumah bagi puluhan spesies binatang, seperti banteng, monyet ekor panjang, harimau jawa, ajag, rusa, bajing terbang ekor merah, merah, penyu belimbing, penyu sisik, penyu hijau, dan penyu lekang. Kawasan seluas 58 ribu hektar ini juga menjadi tempat tumbuh lebih dari 130 jenis tanaman obat.
Kekayaan tersebut memungkinkan kita mengeksplorasi dan belajar banyak dari Meru Betiri. Salah satu kegiatan yang paling populer adalah melihat penyu bertelur di Pantai Sukamade. Sukamade menjadi habitat bertelur bagi sejumlah spesies penyu. Jika ingin menikmatinya, kita bisa datang ke Pos Sukamade sekitar pukul tujuh malam.
Bersama dengan para jagawana, kita akan menuju ke pantai, menunggu penyu yang naik dari laut ke pantai untuk bertelur. Kita bisa mengamati proses ini, lalu turut “mengantar” kepulangan penyu kembali ke laut setelah bertelur. Aktivitas biasanya rampung setelah lewat tengah malam.
Hutan Meru Betiri juga tempat yang sangat bagus untuk trekking. Jika berminat, kita bisa menghubungi warga yang menjadi pemandu dan membuat janji. Jalur yang naik-turun menjadikan perjalanan menantang. Di beberapa titik, kita bisa mencoba bergelantungan “ala Tarzan” pada sulur-sulur panjang pohon yang sudah tua. Sesekali terdengar bunyi seperti salakan anjing, yang ternyata berasal dari burung rangkong. Di hutan itu, trekking juga akan ditemani burung rangkong nun di pucuk-pucuk pohon yang sangat tinggi.
Interaksi dengan alam seperti itu barangkali biasa dirasakan warga sekitar. Bagi wisatawan dan orang kota, itu kemewahan. Namun, kemewahan memang menjadi sesuatu yang amat relatif. Karena di sisi lain, warga Meru Betiri tak menikmati kemewahan layaknya warga kota, kelimpahan akan listrik dan sinyal.
Puasa sinyal
Pada hari pertama kami sampai di Meru Betiri dan mampir di wisma sebelum melanjutkan perjalanan ke Sukamade, penjaga wisma sudah mewanti-wanti, listrik tidak setiap waktu menyala. Hanya pagi pukul 04.00–06.00 dan malam pukul 18.00–21.00.
Warga yang tinggal di kawasan Meru Betiri mengandalkan genset milik perkebunan karet untuk memenuhi kebutuhan listriknya yang rata-rata hanya untuk penerangan dan setrika. Untuk keperluan minimalis itu pun, mereka harus merogoh kocek cukup dalam, lebih dari 100 ribu per keluarga. Warga sebenarnya berharap, daerah mereka segera bisa mengakses jaringan listrik.
Sinyal, yang di kota bisa kita nikmati cuma-cuma, juga menjadi sesuatu yang begitu langka di kawasan ini. Ardi, seorang jagawana yang bertugas mengawasi area penetasan telur penyu di Pantai Sukamade mengatakan, jika ia darurat mesti menghubungi keluarganya, ia akan pergi sejauh kira-kira dua kilometer dari kawasan pantai ke sebuah tempat yang oleh warga lokal disebut “sinyalan”. Cuma di titik itu sinyal dapat sesekali terjangkau, kalau kita beruntung.
“Ada ranting setinggi kira-kira satu meter yang ditancapkan di ‘sinyalan’. Tempatnya di tengah-tengah kebun karet, tidak pas di pinggir jalan kendaraan. Tidak ada petunjuk apa pun, sampeyan perhatikan kanan kiri saja. Kalau sudah ketemu, di sana bisa coba kirim SMS atau telepon. Karena sinyal cuma ada di titik itu, hape sampeyan harus menempel ke kayu, geser sedikit sinyal hilang. Maka, oleh orang sini biasanya hape dikareti di kayu itu kalau mau telepon,” tutur Ardi sambil memperlihatkan foto ponsel keluaran lama yang diikat dengan karet ke kayu itu.
Tidak gampang memang menemukan “sinyalan” yang bak tempat sakral di tengah hutan itu. Berbekal ingatan akan foto yang ditunjukkan Ardi, para warga urban yang tak biasa hidup tanpa sinyal ini berupaya menelusuri tempat itu. Setelah beberapa kali salah duga, titik itu ketemu juga.
Aneh tapi nyata, di tempat ini sinyal memang tertangkap ponsel, meski memang tak stabil. Setidaknya, ponsel yang telah berpuluh-puluh jam sepi notifikasi bisa menerima beberapa pesan singkat. Nanang berhasil menelepon istrinya, berbincang tentang waktu kepulangan dan menu makanan yang akan mereka masak. Kami tertawa-tawa. Kapan lagi menemui hal yang seperti ini.
Keseluruhan pengalaman di Meru Betiri begitu mengesankan, baik karena kekayaan alamnya maupun interaksi dengan warga lokal. Bagi wisatawan, diskoneksi sejenak dari rutinitas, yang dipicu misalnya dari absennya sinyal, barangkali akan membantu untuk lebih terkoneksi dengan alam.
Sementara itu, di sisi lain, infrastruktur Meru Betiri untuk jangka panjang tetap mesti dipikirkan. Setidaknya tentang kebutuhan warga akan listrik dan jaringan komunikasi yang lebih memadai.
[FELLYCIA NOVKA KUARANITA]
Foto-foto Iklan Kompas/B. Yurivito,Antonius SP dan Fellycia Novka
Artikel ini terbit di Harian Kompas 3 November 2017