Perubahan habitat alamiah hewan akan mempertinggi potensi virus yang selama ini berinang pada hewan untuk pindah ke inang baru, yang bisa jadi adalah manusia. Di samping itu, perilaku manusia mengonsumsi satwa liar meningkatkan risiko perpindahan virus dari hewan ke manusia.
Saat ini, imbas pandemi Covid-19 tak terelakkan. Sambil terus berupaya menanggulangi pandemi ini, momentum Hari Bumi yang diperingati pada 22 April menjadi saat yang pas untuk melakukan refleksi tentang cara kita berinteraksi dengan Bumi dan makhluk hidup di dalamnya.
Kompas Klasika berbincang dengan Niel Makinuddin, seorang pegiat lingkungan yang telah berkiprah lebih dari 30 tahun di bidang konservasi alam. Potongan tanya jawab berikut mencerminkan opini pribadinya tentang bagaimana kerusakan lingkungan, yang sebagian besarnya juga dipicu perubahan iklim, membuat manusia makin rentan akan penyakit.
Bagaimana Pak Niel melihat pandemi Covid-19?
Saya coba memandang dari sudut lain ya. Saya kira ini cara unik bumi berkomunikasi dengan manusia, khususnya ketika berbagai kerusakan telah diperbuat manusia. Pandemi ini sebetulnya merupakan momentum luar biasa bagi umat manusia untuk melakukan refleksi dan evaluasi tentang cara pandang dan tindakannya terhadap alam secara keseluruhan, baik kepada populasi tanaman, populasi hewan, khususnya satwa liar, maupun ekosistem hutan dan laut kita.
Ekosistem alamiah seperti hutan dan lautan selama ini cenderung dipandang dan diposisikan sebagai ATM yang terus digesek (ditebang dan dieksploitasi). Padahal, fungsinya beragam. Ia menyediakan udara bersih, air, aneka tumbuhan obat, buah, dan beragam bahan baku pangan. Juga menjaga iklim bumi agar tetap nyaman untuk berjalannya kehidupan.
Namun, ada aspek penting yang manusia lupa, ekosistem alamiah juga merupakan rumah atau habitat berbagai satwa liar dan aneka bakteri serta virus. Ketika pohon-pohon ditebang, aneka satwa liar mati, berbagai bakteri dan virus akan mencari inang baru yakni manusia.
Ketika ekosistem alami hutan dan laut dirusak, kualitas hidup menurun drastis. Pencemaran air dan udara naik tajam. Kondisi kualitas hidup dan kesehatan seperti ini menjadikan manusia menjadi semakin rentan terhadap serangan penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus.
Dari berbagai kajian, kita mendapatkan informasi bahwa kualitas udara juga menjadi salah satu faktor penentu tingkat kematian Covid-19. Covid-19 menyebar cepat di lingkungan dengan kualitas udara buruk. Belajar dari berbagai kesalahan tersebut, manusia perlu mengubah cara pandang menuju cara pandang yang lebih bersahabat dengan alam.
Bagaimana kerusakan lingkungan terkait dengan pola transmisi penyakit menular?
Transmisi penyakit menular dewasa ini menemukan setidaknya dua kondisi yang saling mendukung, yakni tingginya mobilitas manusia secara global dan kerusakan lingkungan. Mobilitas manusia dewasa ini jauh lebih tinggi dibandingkan 10 atau 20 tahun lalu.
Mobilitas yang diikuti interaksi antarmanusia yang tinggi merupakan sarana yang efektif untuk penularan dan penyebaran lebih cepat sehingga munculnya pandemi global hanya perlu waktu satu atau dua bulan. Sementara itu, kondisi kerusakan lingkungan dan perubahan iklim menjadikan kualitas hidup dan kesehatan terus memburuk, yang berdampak semakin tingginya kerentanan dan kematian.
Berdasarkan penelitian yang ada, belum ada hubungan langsung antara kerusakan lingkungan dan transmisi penyakit menular antara manusia ke manusia. Namun, banyak peneliti yang sudah membuktikan kerusakan hutan (deforestrasi) dan pembukaan tutupan lahan mempercepat terjadinya wabah/epidemi di suatu wilayah.
Yang sudah ada permodelannya adalah untuk kasus malaria dan demam berdarah. Bahwa kenaikan suhu, cuaca ekstrem, dan hilangnya habitat asli nyamuk menimbulkan lebih banyak genangan untuk jentik berkembang.
Perubahan iklim juga sudah terbukti mempengaruhi penyakit yang menyebar melalui air (waterborne infectious disease) seperti kolera, disentri, tipus, dan filariasis. Semua penyakit itu berkaitan dengan ketersediaan air bersih.
Bagaimana kaitan zoonosis (penyakit yang ditularkan dari hewan) dengan pencairan es?
Ada istilah yang sedang dikaji oleh banyak ilmuan saat ini, yaitu permafrost. Dalam geologi, permafrost adalah tanah yang berada di titik beku pada suhu 0 derajat celsius. Permafrost umumnya terletak di tanah yang dekat dengan kutub utara dan selatan. Tanah es menyumbang 0,022 persen dari total volume air dan ada dalam 24 persen lahan terbuka di belahan bumi utara.
Seiring meningkatnya suhu bumi, sejumlah permafrost mencair. Sudah banyak penelitian ilmiah bahwa permafrost ini adalah tempat berlindungnya bakteri dan virus yang memang sudah ada sejak ribuan atau jutaan tahun. Bahkan, ada peneliti yang menemukan bahwa ditemukan mikroba berusia 400 ribu tahun dari lapisan permafrost yang mencair.
Kuman yang sudah dorman (terhambat sementara perkembangannya) itu jika tempat tinggalnya rusak, tentu dia akan beradaptasi mencari inang yang baru. Biasanya adalah satwa liar. Interaksi antara satwa dan manusia bisa menjadikan sarana untuk adanya “transfer inang”.
Perlu dicatat, kelelawar diketahui memiliki 60 jenis virus termasuk virus korona. Kita ketahui kelelawar umumnya tinggal di gua, kawasan ekosistem karst, dan alam terbuka. Mereka adalah inang yang baik, tapi kemudian terjadi gangguan keseimbangan habitat yang disebabkan manusia. Maka terjadilah zoonosis tersebut.
Ekosistem alami merupakan tempat atau hunian (habitat) berbagai makhluk, termasuk bakteri dan virus. Bila ekosistem alami tersebut terganggu karena dieksploitasi oleh manusia, bakteri dan virus akan mencari inang baru (manusia) untuk tempat tinggalnya.
Sebelum pandemi Covid-19, adakah contoh kasus penularan penyakit yang berhubungan dengan perubahan iklim atau kerusakan lingkungan?
WHO sudah memprediksi ancaman perubahan iklim terhadap sebaran penyakit infeksi menular sejak 2003. Namun, kajiannya baru sebatas demam berdarah dan malaria. Mereka sudah membuat permodelan bagaimana kenaikan suhu dan deforestrasi hutan akan menyebabkan kenaikan jumlah kasus demam berdarah dan malaria.
Untuk kasus zoonosis, memang belum ada kajian ilmiahnya, pengaruh antara hewan-hewan carrier terhadap wabah yang terjadi sepuluh tahun terakhir. Karena untuk mengetahui hubungannya, perlu ada kajian lengkap antara ekosistem, kepadatan penduduk, mobilitas, kualitas lingkungan dan banyak faktor lainnya.
Namun, ahli satwa liar sudah memperingatkan, jangan merusak ekosistem asli satwa dan mengonsumsinya. Karena kita belum tahu apa saja yang mereka bawa. Misal, kelelawar diketahui menjadi inang setidaknya 60 virus (termasuk coronavirus) dan mereka biasanya tinggal di gua-gua. Merusak habitat dan mengonsumsi satwa liar berarti sama saja membuka dan memperlemah benteng pertahanan manusia.
David Quammen, penulis buku Spillover: Animal Infections and the Next Pandemic, meringkas siklus dan penyebab munculnya banyak penyakit: virus, bakteri, serta kuman kehilangan tempat tinggal akibat hutan dan alam diinvasi manusia untuk keperluan hidup maupun keserakahan. “Mereka lantas mencari inang baru, dan itu adalah tubuh manusia.”
Kate Jones dkk yang menulis di jurnal Nature menemukan bahwa selama 1940-2004 ditemukan 335 jenis penyakit baru, 72 persen berasal dari satwa liar. Tepat pada periode itu, jumlah emisi gas rumah kaca memecahkan rekor dalam 800.000 tahun dan jumlah CO2 di atmosfer tembus 400 ppm.
John Vidal, editor lingkungan The Guardian, mendatangi Desa Maybout di Gabon, asal muasal virus ebola, yang membunuh 11.300 orang dalam 2 tahun pada 1996. Ia penasaran mengapa Mayobut yang berada di kawasan hutan tropis bisa menyimpan virus yang ganas itu. Vidal langsung menemukan jawabannya ketika ia berkano menyusuri hutan di sana yang telah rusak akibat pembalakan dan penambangan emas.
Dari penduduk desa, ia mendapat cerita bahwa orang pertama yang meninggal akibat demam adalah seorang anak yang pergi ke hutan memburu simpanse dan memakan dagingnya. Orang-orang yang turut memakannya tak selamat setelah dua hari demam hebat. Daging simpanse itu kemudian dikenal menyimpan ebola yang menular antarmanusia.
Jadi, pandemi saat ini seharusnya dijadikan momentum bagi umat manusia untuk mengoreksi secara total cara pandang dan cara hidup di muka bumi yang telah menyebabkan aneka kerusakan. Alam bisa hidup tanpa manusia, tetapi manusia tidak bisa hidup tanpa alam. Solusi mendasar dari masalah perubahan iklim adalah perubahan pola pikir dan perilaku manusia.