Saat bicara soal demo, pasti yang tergambar di bayangan kamu adalah massa berteriak lantang, spanduk berkibar-kibar, dan bakar ban di tengah jalan. Yap, pembakaran ban telah jadi simbol aksi protes di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.

Nah, pernahkah kamu bertanya, kenapa ban menjadi pilihan utama dalam aksi demo semacam ini?

Tradisi pembakaran ban dalam aksi demo bukanlah hal baru. Di berbagai negara, aksi ini sudah dilakukan selama beberapa dekade, terutama dalam konteks protes politik atau sosial.

Di Indonesia, fenomena ini mulai muncul dan semakin sering terlihat sejak era reformasi, ketika masyarakat mulai lebih berani menyuarakan pendapatnya di depan umum. Pembakaran ban sering kali dilakukan sebagai bentuk ungkapan kekecewaan yang mendalam terhadap kebijakan pemerintah atau pihak tertentu.

Di luar negeri, pembakaran ban juga kerap terlihat di berbagai pemberitaan. Di negara-negara Amerika Latin, pembakaran ban dilakukan saat protes-protes yang dilakukan kelompok buruh atau petani yang menuntut hak-hak mereka.

Keidentikan bakar ban hanya saja menjadi lebih merujuk kepada stigma negatif. Salah satunya karena ban terbakar kerap muncul pada film-film barat yang bercerita tentang demonstrasi atau aksi protes berujung kericuhan.

Alasannya kenapa membakar ban

Sejauh ini tidak ada literatur yang pernah meneliti hal tersebut. Namun, ada sebuah tulisan dari Associated Press berjudul Burning tires: Lebanon’s protesters send dark, angry message mengungkapkan ban dibakar karena salah satunya sulit untuk dipadamkan sehingga bisa menarik perhatian, menutup jalan, dan membuat pasukan penghalau mundur.

Taktik membakar ban ini telah digunakan di Palestina, Irak, dan Sudan. Warga Palestina membakar ban selama protes terhadap pendudukan Israel yang dimulai pada pemberontakan pertama mereka yang meletus pada tahun 1987.

Tiga dekade kemudian, selama protes terhadap blokade perbatasan Gaza oleh Israel dan Mesir, para pemuda membentuk “tim ban” yang mengendarai becak motor mengelilingi jalur pantai kecil untuk mengumpulkan ban yang akan dibakar.

Asap hitam pekat tersebut berfungsi untuk menyamarkan identitas mereka yang melemparkan batu ke arah pasukan Israel.

‘Tim ban” ini pada akhirnya bisa dilihat betapa mudahnya ban bekas untuk bisa diakses pendemo. Di Indonesia sendiri, ban bekas cukup mudah ditemukan dan relatif murah serta juga mudah dibakar.

Merujuk dari artikel tersebut, periset asal Lebanon dari Amnesty International Sahar Mandour mengatakan, praktik membakar ban sebagai bentuk protes ini mulai marak di banyak negara pada 1980-an. Namun, sekarang ini beberapa negara sudah meninggalkan cara ini karena dampak dari lingkungan.

Baca juga: Yuk Kurangi Sampah Demi Lingkungan yang Lebih Baik

Ungkapan kemarahan dan kekecewaan

Pembakaran ban selain sebagai taktik juga bisa dilihat sebagai ungkapan dari kemarahan yang mendalam dan simbol perlawanan.

Dalam sebuah artikel tentang protes di Haiti berjudul On Marching for Life and Burning Tires di Woy Magazine, membakar ban adalah sebuah bentuk paling agresif dari protes non-kekerasan.

Disebut agresif karena merusak properti, tetapi dalam batas terkendali. Pembakaran ban ini menjadi sebuah ekspresi keluhan dan pernyataan politik yang tidak bisa diabaikan oleh pengamat.

Ini juga taktik menarik perhatian media, baik lokal maupun internasional. Api seakan menjadi “penyebar pesan” untuk menarik lebih banyak dukungan.

Asap tebal yang dihasilkan juga memberikan efek visual yang kuat. Aparat keamanan juga bisa dikatakan menjadi sedikit lebih waspada karena api punya potensi bahaya. Di sisi lain, aparat juga memiliki “tanda” bahwa protes mulai membesar.

Walaupun demikian, risiko yang dihadapi juga cukup besar. Dari sisi keamanan, api yang tidak terkendali bisa menyambar ke properti lain dan membahayakan pendemo bahkan warga sekitar.