Memang gampang terlenakan kantuk dalam perjalanan selama dua jam dari Desa Sudaji ke Pemuteran, Buleleng. Jalanan mulus dan rimbunnya pohon membuat berkendara kian nyaman. Namun, pada saat yang sama, rasa takjub menahan mata agar tak terpejam. Di utara, terbentang birunya Laut Bali yang bisa kita intip lewat sela-sela permukiman dan pepohonan, sementara di selatan lapis-lapis bukit bersalut hijaunya vegetasi menyegarkan pandangan.
“Nyegara gunung,” kata Dwi Yani, jurnalis sekaligus aktivis yang menemani kami pergi ke Pemuteran. “Itu filosofi Bali untuk menyebut posisi alam seperti Pemuteran ini, diapit segara atau laut dan bukit-bukitan,” lanjutnya, Selasa (11/7).
Dalam filosofi itu, segara dan gunung adalah kesatuan yang tak terpisahkan. Setiap tindakan di laut akan berdampak pada gunung, begitu pula sebaliknya. Di tataran yang lebih tinggi, konsep ini juga berbicara tentang keseimbangan natural dan spiritual.
Perjalanan tak pernah membosankan karena setiap sudut Bali punya kisah. “Mudah untuk mengenali jalan-jalan yang dibangun pada masa penjajahan Belanda. Tepi jalan ditanami dengan pohon tamarin, kayu santan, atau intaran,” kata Dwi.
Ia lalu menjelaskan, masing-masing pohon punya peran. Tamarin atau asam sebagai peneduh. Buahnya dipakai untuk memasak. Kayu santan diambil getahnya untuk lem, daunnya untuk pakan ternak, dan rantingnya untuk kayu bakar. Sementara itu, intaran atau mimba bisa menghasilkan banyak oksigen dan mampu bertahan hidup di daerah kering, seperti Bali utara.
Sekitar dua dekade lalu, kondisi Pemuteran memang tandus, jauh berbeda dengan saat ini. “Lihat bukit-bukit yang sekarang hijau itu? Dulu bukit itu gundul. Lalu diadakan penghijauan, sekitar lima tahun lalu. Caranya, membuat lomba ketapel untuk anak-anak. Pelurunya biji-biji intaran. Mereka harus melontarkan sejauh-jauhnya ke arah bukit,” cerita Dwi.
Pada masa kering itu, keadaan memang menyedihkan. Kondisi kian mendesak ketika terjadi krisis moneter 1998. Kehidupan warga yang serba berkekurangan mendorong mereka menjadi destruktif. Pohon di bukit-bukit ditebang, penduduk ingin mengambil sebanyak-banyaknya daun untuk pakan ternak. Ikan ditangkap dengan cara menggunakan bom dan sianida. Akibatnya, biota laut hancur.
Terumbu karang mengalami kerusakan parah, sehingga hasil nelayan semakin terbatas. Pada saat yang sama, pemanasan global mulai menghantui dan menyebabkan terjadinya pemutihan (coral bleaching) yang juga mengganggu kesehatan terumbu karang. Di sisi lain, hampir tak ada infrastruktur yang bisa ditemui di kawasan ini. Tak heran, dulu namanya tidak masuk dalam daftar destinasi pariwisata.
Basis warga
Kini, Desa Pemuteran menjadi salah satu destinasi utama, terutama bagi wisatawan kelas menengah atas asal Eropa. Berbeda dengan rasa pariwisata Bali Selatan, Pemuteran menawarkan kedamaian dan ketenangan untuk berlibur. Jauh dari hiruk-pikuk kota besar. Kentalnya unsur lokal bisa kita temui dalam gaya arsitektur resor atau pondok wisata, makanan, dan cara warga berinteraksi. Desa Pemuteran bahkan termasuk dalam daftar 10 destinasi top di Asia menurut Lonely Planet pada 2016.
Perubahan besar ini tak lepas dari peranan I Gusti Agung Prana. Pria yang bergiat di industri pariwisata ini menyadari besarnya potensi Pemuteran. Wilayahnya khas karena nyegara gunung. Kontur alami taman bawah laut Pemuteran juga unik karena menjadi satu-satunya wilayah di Bali yang memiliki area terumbu karang yang begitu luas di perairan dangkal. Lautnya tenang tanpa ombak besar, memberi kenyamanan ekstra saat menyelam atau snorkeling.
Terumbu karang adalah harta tak ternilai Pemuteran. Tak hanya memiliki fungsi estetis, terumbu karang mampu menghasilkan oksigen dan menjadi tempat bernaung biota laut lain. Keberlangsungan hidup terumbu karang menjamin keberlangsungan biota laut, yang pada rantai berpengaruh pada keberlanjutan hidup manusia.
Pada 1989, Agung mengajak masyarakat setempat merawat lingkungan. Menangkap ikan dilakukan dengan lebih arif. Menanam kembali pohon-pohon. Pemuteran lalu memiliki pecalang yang bertugas menjaga lingkungan.
Pada 1990-an, Agung mendirikan Yayasan Karang Lestari untuk merehabilitasi terumbu karang yang telanjur rusak. Ia juga menghadirkan Pondok Sari, hotel pertama yang berdiri di Pemuteran. Kesadaran akan wisata menjadi salah satu cara untuk membangun kepedulian warga lokal akan lingkungannya. Mereka mesti menjadi tuan rumah yang baik bagi orang-orang yang mungkin datang ke daerah itu. Dalam waktu tujuh tahun, Pemuteran mulai berganti wajah. Wisatawan mulai berdatangan dengan minat khusus, yakni untuk wisata bahari, wisata spiritual, dan ekoturisme.
Teknologi biorock
Perkembangan Pemuteran pun menarik perhatian para ilmuwan dalam bidang bahari kala dipresentasikan dalam Ocean World Conference di Nusa Dua, Bali, pada 2000. Peneliti dan pakar arsitek bawah laut dan terumbu karang, Prof Wolf Hilbertz dan Dr Thomas Goreau tertarik untuk menguji coba aplikasi temuan mereka, teknologi biorock. Uji coba ini sebelumnya sudah dilakukan di beberapa negara tetapi gagal karena kurangnya partisipasi masyarakat setempat.
Pada Juni 2000, kedua peneliti itu melakukan eksperimen di Pemuteran. Dalam tiga bulan saja, percobaan ini menunjukkan progres yang bagus. Bekerja sama dengan Hilbertz dan Goreau, Agung lantas mengembangkan pemulihan terumbu karang dengan metode biorock secara besar-besaran.
“Teknologi biorock mempercepat pertumbuhan terumbu karang, 2 sampai 6 kali lebih cepat dibandingkan pertumbuhan alami,” terang Manajer Biorock Center Komang Astika. Terumbu karang juga menjadi relatif lebih tahan terhadap pengaruh perubahan cuaca maupun kontaminasi berbagai polutan air.
Rehabilitasi dengan teknologi biorock ini dilakukan dengan mengalirkan listrik berarus rendah (1,2–21 ampere) ke terumbu karang yang ditempelkan pada struktur besi. Listrik akan merangsang reaksi kimia, menghasilkan zat kapur yang mengendap pada jalinan besi dan menjadi komponen utama untuk pertumbuhan terumbu karang. Selama 6 tahun terakhir, 50 persen listrik untuk biorock dihasilkan pembangkit swadaya berenergi surya dan angin.
Berkat penerapan teknologi ini, sejak 2001, kawasan Teluk Pemuteran berubah menjadi taman bawah laut yang memiliki keanekaragaman terumbu karang yang kaya. Ditambah lagi, struktur besi sekaligus dijadikan semacam instalasi seni. Bentuknya dikreasikan menjadi beragam rupa, misalnya gajah mina, hewan mitologis yang memiliki bentuk separuh gajah separuh ikan.
Pengembangan teknologi biorock, partisipasi warga, dan regulasi pemerintah menjadi fondasi kemajuan Pemuteran hingga hari ini. Atas upaya pemulihan ini, Desa Pemuteran mendapatkan sejumlah penghargaan prestisius, antara lain The Equator Prize dari UNDP Special Award pada 2012 dan juara kedua UNWTO Award untuk kategori Inovasi LSM pada 2016
Kesuksesan rehabilitasi terumbu karang di Pemuteran pun menginspirasi wilayah sekitarnya bahkan di luar Bali untuk mencapai kesuksesan serupa. “Saat ini ada replikasi teknologi biorock di 15 tempat di Indonesia, antara lain di Gili Trawangan, Sumbawa, Pacitan, Ambon, Kepulauan Seribu, dan ada yang di Sulawesi,” tutur Komang.
Berawal dari hanya 18 struktur, kini, ada lebih dari 100 struktur media penumbuhan terumbu karang yang tersebar di Teluk Pemuteran. Penambahan jumlah rehabilitasi terumbu karang didorong program sponsor baby coral yang ditawarkan kepada pengunjung. Pengunjung dapat berpartisipasi dalam program rehabilitasi ini dengan menyumbang dana Rp 400 ribu. Nama mereka akan diabadikan dalam bentuk struktur kawat besi, media penumbuhan bibit karang.
Rehabilitasi Pemuteran adalah jalan panjang yang tujuannya lebih daripada sekadar memulihkan alam, tetapi juga kesadaran warganya. Kini, nyegara gunung tak hanya menggambarkan lanskap Pemuteran, tetapi juga spirit yang dihidupi penduduknya.
[MI RANI ADITYASARI DAN FELLYCIA NOVKA K]Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 28 Agustus 2017