Kerikil, kerakal, dan kerikil lagi. Inilah yang menyelimuti sepanjang tepian Pantai Tablanusu. Tidak ada hamparan pasir seperti tipikal pantai pada umumnya. Namun, pemandangan yang disuguhkan tetaplah eksotis. Kerikil yang nampak di permukaan tak mengurangi kelembutan sapaan alam yang menghantarkan ketenangan.

Pantai Tablanusu berada di kawasan wisata Kampung Tablanusu, Distrik Depapre, Jayapura, Papua. Perjalanan menuju kampung seluas 230,5 hektare ini membutuhkan waktu tempuh 1,5 hingga 2 jam dari pusat kota. Kontur jalanan lebih banyak berupa tanjakan dan turunan. Sayangnya, masih terdapat ruas jalan yang kondisinya memprihatinkan. Beruntung, ketidaksabaran mampu dilunakkan dengan atmosfer Pegunungan Cyclop yang menyejukkan. Terdengar pula kicauan burung hutan yang mengiringi selama perjalanan.

Kata “tablanusu” berasal dari “tepuaonusu”, yang terbentuk dari “tepera” (nama sebuah suku setempat) dan”onusu” (terbenamnya matahari). Awalnya, penduduk lebih banyak berladang. Kini, mata pencaharian beralih menjadi nelayan.

Kunjungan pada akhir Agustus silam memperlihatkan Pantai Tablanusu yang sepi dari wisatawan. Lapangan yang biasanya dijadikan tempat parkir mobil dimanfaatkan anak-anak sekolah dasar untuk bermain sepak bola.

Kaki mulai menyusuri tepi pantai yang beralaskan kerikil. Langkah memang harus lebih berhati-hati karena besarnya batu tidaklah sama. Ketika mata jauh memandang ke arah seberang, terlihat lanskap Pegunungan Cyclop. Begitu meneduhkan meski mentari mulai meninggi. Kecantikan pemandangan ini juga bisa dinikmati sembari duduk santai di pondokan atau berkelana dengan menyewa perahu nelayan.

Keramahan alam di Kampung Tablanusu bukan satu-satunya menjadi daya tarik. Masuklah ke kawasan permukiman penduduk yang berdekatan dengan area pantai. Terdapat danau air tawar sebagai area tambak. Lebih beruntung lagi, dapat berjumpa dengan keramahan penduduk sekitar.

Langkah pun berhenti di salah satu sudut gang. Miniatur-miniatur perahu nelayan bergantungan bersama dengan garpu papeda dan tifa. Semuanya diperlihatkan pada bagian depan kios kecil. Pemandangan ini berbeda dengan rumah-rumah penduduk lainnya.

“Awalnya, saya bisa ukir perahu besar. Sekarang, buat perahu yang kecil. Saya pilih kayu susu karena bagian dalamnya berwarna putih. Warna perahu biar bersih, tidak kusam,” ujar Agustinus (90) sang pembuat ukiran. Ia mengisi masa senja dengan membuat kerajinan tangan. Dengan alat sederhana seperti pisau dan cutter, Agustinus mampu mengerjakan 1 perahu dalam 1-3 hari.

“Sayangnya, anak muda sekarang sulit belajar mengukir, padahal ini bagian dari tradisi. Saya sudah coba mengajak mereka, tetapi satu per satu tidak melanjutkan,” ungkapnya. Setiap ukiran memperlihatkan simbol yang lekat dengan kehidupan masyarakat lokal. Misalnya, ukiran berbentuk ikan layaran, salah satu hasil laut. Ada juga ukiran burung hutan yang bertubuh kecil dan bersuara nyaring.

Satu hasil jadi ukiran dipatok harga yang sama meski ukurannya beragam, yakni Rp 100.000. Tak ada salahnya jika wisatawan memberikan penghargaan lebih. Hasil ukiran memang tak begitu halus, tetapi nilai kekhasan dan tradisi di dalamnya tak bisa dipandang sebelah mata. Kerajinan lokal seperti ini belum tentu bisa ditemui di tempat lain.

Pasir putih

Sebelum lewat dari pukul 12.00 WIT, petualangan berlanjut ke Pantai Harlem yang masih berada di Distrik Depapre. Pantai hanya bisa ditempuh melalui jalur laut, berangkat dari Dermaga Depare. Tersedia kapal cepat sewaan dengan tarif Rp 350.000-Rp 450.000 untuk perjalanan pergi dan pulang.

Bersiaplah menikmati suguhan alam saat melintasi Laut Depapre yang berhadapan langsung Samudra Pasifik. Kurang dari 30 menit, pesona pantai mulai terlihat dari kejauhan. Hamparan pasir putih berpadu dengan air berwarna biru kehijau-hijauan. Semakin mendekati bibir pantai, air semakin jernih. Tampak jelas aneka biota laut dan ikan-ikan kecil yang tak ubahnya memberikan tarian penyambutan.

Pantai berpasir lembut tanpa kerikil ini menjadi surga bagi para penyuka snorkeling dan diving. Wisatawan dapat memanfaatkan fasilitas pondokan dan kamar mandi. Harga sewa satu pondok dikenai tarif Rp 150.000. Pada musim liburan, banyak pengunjung membawa tenda untuk berkemah. Ayolah, menginap semalam. Di sini justru tidak ada nyamuk, ujar salah satu warga sekitar sembari tersenyum.

Bumi Cendrawasih selalu punya cara untuk memberikan sambutan terbaik kepada setiap orang yang menyapanya dengan kebaikan. Kedatangan akan berbalas dengan kelembutan sapaan alam dan senyuman penduduk lokal yang mengesankan. [GPW]

noted: Kelembutan Sapaan Bumi Cendrawasih