Kedai kopi turut mengiringi perjalanan kehidupan masyarakat Indonesia. Meski tidak dalam balutan interior berkelas, sofa empuk, fasilitas Wi-Fi gratis, dan berpenyejuk udara, kedai kopi tradisional di Indonesia tak kalah menarik. Sajian kopinya pun tak pernah gagal menggigit indera pengecap para pencinta kopi sehingga -meski kadang harus rela menunggu kursi kosong sambil berkeringat- tetap selalu datang lagi dan lagi. Di tengah desakan kehidupan urban, sudut-sudut di Indonesia masih menyimpan warung-warung kopi tradisional yang mempertahankan orisinalitas dan kualitas rasa. Bertualang warung kopi di Indonesia pun ibarat membuka kotak pandora yang memaparkan seribu kisah kehidupan manusia.
Kopi Es Tak Kie
Terletak di area Pecinan yakni di Glodok, Jakarta Barat, kedai kopi ini telah mewarnai kehidupan masyarakat setempat sejak 1927. Menyambangi kedai kopi yang terletak di sebuah gang sempit itu seolah memasuki ruang waktu dan kembali ke masa lalu. Suasana tempo dulu ini memang sengaja dijaga oleh sang pemilik, yang kini telah diwariskan ke generasi ketiga, dan menjadi salah satu daya tarik, selain rasa kopinya yang khas. Terutama untuk pilihan menu Es Kopi Tak Kie yang merupakan campuran kopi dari jenis kopi Robusta maupun Arabika dari Lampung, Toraja, hingga Sidikalang.
Kopi Kong Djie
Tak ada hari yang tak diawali dan diakhiri dengan segelas kopi. Begitulah ciri khas masyarakat Belitung, terutama di kalangan kaum pria. Warung Kopi Kong Djie, di Siburik Barat, Belitung Barat, menjadi persinggahan penting dalam rutinitas masyarakat sekitarnya.
Hadir sejak 1945, warung kopi ini tak pernah sepi pelanggan sejak buka pukul 5 pagi hingga 4 sore. Sebelum berangkat bekerja, minum kopi. Sepulang kerja, kembali mampir ngopi. Keistimewaan kopinya terletak pada racikannya yang khas, yaitu mencampur kopi arabika dan robusta, lalu dimasak dengan menggunakan arang.
Sembari menikmati kopi, beragam penganan tradisional Belitung pun terhampar di atas meja. Pelanggannya, mulai dari kuli bangunan, nelayan, hingga anggota DPRD.
Kopi Mieng Hao
Lebih dikenal dengan warung kopi Apek -nama sapaan sang pemilik- di Medan, warung kopi ini hadir sejak 1922. Seolah menjadi etalase kehidupan multietnis, pengunjungnya juga berasal dari beragam latar belakang etnis, agama, dan profesi. Baik dari etnis Tionghoa, Jawa, Tamil, Nias, Mandailing, Toba, Karo, Simalungun, hingga Melayu.
Warung kopi ini turut menjadi saksi pergolakan zaman dari masa ke asa. Pada masa perusahaan perkebunan berjaya puluhan tahun lalu, pegawai dan direktur perusahaan perkebunan seperti London Sumatera Company, Harrison Crossfield, atau NV Borzoi kerap singgah. Pada masa penjajahan Belanda, tentara Belanda turut menjadi pelanggan. Pun ketika tentara Jepang menjajah, juga singgah di warung ini.
Sang pemilik warung juga tetap mempertahankan cita rasa kopi dengan menggunakan kopi dari Sidikalang, yang terkenal akan aromanya yang wangi dan rasa mantap. Dinikmati hangat maupun dingin, dengan atau tanpa tambahan susu, kopi Sidikalang terasa nikmat. Dalam perjalanannya, kopi Sidikalang ini tak hanya berhasil menyatukan ragam etnis dan latar belakang di Sumatera Utara dengan citarasanya yang memikat indera pengecap, kopi ini juga telah menjangkau pasar Eropa.
[ADT]foto: kompas.com