Setiap kelas di SD Kanisius Mangunan Yogyakarta punya “koper”. Saban hari siswa-siswa menabung di dalam “koper” itu. Isinya dibuka seminggu sekali, lalu dibagikan kepada seluruh siswa di kelas.

“Koper” adalah kotak pertanyaan. Yang ditabung di dalamnya, pertanyaan dari anak-anak. Rasa ingin tahu. Harta yang kelak lebih berarti ketimbang materi.

Sejak beberapa tahun lalu, SD Kanisius Mangunan memang mempunyai tradisi mengumpulkan dan menjawab pertanyaan anak-anak. “Anak boleh bertanya tentang apa saja. Ciri khas anak yang sehat adalah menanyakan berbagai hal yang ingin diketahuinya,” ujar Kepala Sekolah SD Kanisius Mangunan Khatarina Supatminingsih, Jumat (22/7).

Siswa juga distimulasi untuk terus membangun rasa ingin tahunya. Selain lewat pengalaman pribadi sehari-hari mereka sendiri yang dialami di luar sekolah, sekolah terus memupuk daya kritis anak. Caranya antara lain dengan mengajak anak berkeliling kampung dan mendapatkan pengalaman baru lewat interaksi-interaksi dengan sekitarnya. Anak juga didorong untuk membaca. Dengan semakin kayanya pengalaman, semakin banyak pula hal yang ingin diketahui anak.

06

Supatmi menjelaskan, setiap anak harus menabung pertanyaan minimal satu dalam seminggu. Pada kelas-kelas kecil yang anaknya belum lancar menulis, guru bisa membantu mencatatkan. Pertanyaan-pertanyaan ini lantas dimasukkan ke dalam kotak pertanyaan, bisa terbuat dari boks, kardus, atau kotak susu. Pertanyaan itu kemudian disortir oleh guru, mana yang bisa langsung dijawab dan mana yang mesti dicari dulu lewat sumber lain.

“Berdasarkan pengalaman saya, tidak semua pertanyaan bisa langsung terjawab. Mereka punya pikiran melebihi apa yang bisa kita bayangkan. Ada anak yang bertanya misalnya mengapa api itu panas atau atau mengapa ketika ada orang meninggal, ada sawur (uang di dalam beras berwarna kuning) yang ditebar di jalan,” kata Supatmi.

Sekali seminggu, pertanyaan-pertanyaan ini dibacakan di dalam kelas. “Saat membacakan pertanyaan, guru juga memperbaiki pertanyaan anak, misalnya dari tata kalimat maupun pemilihan kata. Dengan demikian, kemampuan anak untuk bertanya semakin berkembang,” tutur Supatmi.

04

Setelah pertanyaan dibacakan, guru tak langsung menjelaskan. Guru melempar pertanyaan itu terlebih dahulu ke siswa lain di dalam kelas. Kalau ada yang bisa membantu menjawab, guru tinggal melengkapinya. Jika jawaban atas pertanyaan anak bisa ditemukan di masyarakat sekitar, anak bisa diajak ke lapangan untuk menemukan langsung jawabannya.

“Pengetahuan anak kadang belum sempurna. Ia butuh orang lain agar pengertiannya menjadi lebih lengkap. Oleh karena itu, kita mesti menjaga hasrat bertanya anak,” kata Supatmi.

Ciptakan ruang

Upaya-upaya untuk menjaga api keingintahuan anak juga datang dari Profesor Hendra Gunawan. Pada 2013, ia dan rekannya Gregorius Hadiyanto Nitiharjo menggagas blog Anakbertanya.com.

Di blog ini, anak-anak bisa menulis langsung pertanyaan tentang apa saja yang ingin diketahuinya. Jika belum bisa mengetik sendiri, orangtua atau yang sudah lebih dewasa bisa membantunya. Pakar-pakar atau orang yang dalam kesehariannya berurusan dengan bidang terkait pertanyaan anak akan menjawabnya.

02

Hendra, dalam surat elektroniknya, Kamis (21/7), menjelaskan, selain untuk memuaskan rasa ingin tahu anak, blog ini juga ingin memperkenalkan anak-anak pada dunia keilmuan, dunia profesi, dan sosok sang pakar. Siapa tahu, itu dapat memberikan inspirasi kepada anak mau jadi apa kelak ketika ia sudah dewasa.

Peran orangtua juga sangat penting untuk merawat rasa ingin tahu anak. Hendra mengatakan, orangtua mesti mendorong anak dan menggali potensinya. “Jangan sekadar main gim, misalnya, tetapi tantang mereka untuk membuat gim. Kalau itu terlalu berat, mungkin si anak bisa menggambar atau bahkan menciptakan karakter idolanya,” kata Hendra.

Sejak 2015, tim Anakbertanya.com berkolaborasi dengan Manajemen Sabuga ITB, Common Room Networks Foundation, SOS Children’s Villages Indonesia, Langit Selatan, dan Eureka Math & Science Learning Center menggagas Festival Anak Bertanya (FAB). Ini adalah ajang anak-anak dan pakar berinteraksi langsung untuk berbagi pengetahuan. Pada 2015, sekitar seribu pengunjung, yang terdiri atas anak-anak dan orangtuanya hadir di FAB.

“Pada 2016, angkanya melampaui 5.000 pengunjung! Anak-anak sangat antusias bertanya dan berinteraksi dengan kakak-kakak dari 28 lembaga peserta FAB 2016,” ujar Hendra.

Rasa ingin tahu anak ibarat benih yang hanya akan subur dan menghasilkan buah ketika dirawat dengan baik. Tugas orang dewasalah memupuknya, bukan malah memupuskannya. Sebab, pandai tidak hanya bermula dari rajin, tetapi juga rasa ingin tahu. [NOV]

noted: Karena Bertanya Pangkal Pandai