Terlalu terjal rasanya ketika kaki melangkah menuruni anak tangga yang terlihat tanpa batas jumlah. Jalan menurun ini kemiringannya sekitar 45 derajat, menuju sebuah kampung di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Inilah Kampung Naga.

Keringat tak hentinya mengalir, apalagi jika berkunjung ke sini saat musim panas. Sapuan sinar matahari terasa mencucuki pori-pori kulit ini. Setelah berjalan beberapa saat, sampai juga di tepian sungai yang di sebelah baratnya tampak hamparan sawah. Inilah “ruang” Kampung Naga, yang memeram berbagai pedoman hidup tradisional dan senantiasa merawat kelestarian alam.

Berjarak sekitar 30 kilometer (km) dari Kota Tasikmalaya dan 26 km dari Kota Garut, Kampung Naga ada di tepi tebing yang menjorok.

“Selamat datang. Wilayah ini luasnya sekitar 1,5 hektar, dengan batas timur dan utara Sungai Ciwulan. Di sebelah barat (ada) hutan keramat yang terdapat makam leluhur, sementara di selatan adalah sawah-sawah penduduk,” kata Mang Ndut, warga asli Kampung Naga.

Pada 2023, jumlah rumah di kampung ini ada 103 bangunan. Seratus rumah sebagai tempat tinggal penduduk, dan 3 rumah difungsikan untuk fasilitas umum. Atap rumah terbuat dari ijuk, bambu, atau kayu.

Mang Ndut menambahkan, jumlah penduduk di kampungnya ada 305 jiwa yang terbagi dalam 102 kepala keluarga. “Leluhur kami telah bermukim di sini sejak ratusan tahun lalu. Nama Kampung Naga berasal dari nama Kampung Nagawir yang terletak di bawah tebing,” ujarnya.

Kampung ini menjadi satu dari banyak kampung adat di Indonesia yang masih memegang teguh nilai-nilai adat dan peraturan leluhur. Berbeda dengan wilayah perkotaan yang penuh pikuknya kapitalisme, Kampung Naga dibalut kesahajaan dan kearifan lingkungan dalam perilaku tradisional.

Warisan budaya dan perilaku leluhur masih lestari dilakukan oleh warganya sampai sekarang. “Pamali kalau warga di kampung ini mengambil kayu dari hutan sebelah timur itu. Jangankan menebang, mengambil ranting yang jatuh saja tidak boleh. Untuk kayu bakar dan kebutuhan lainnya, warga lebih memilih membeli daripada mengambil di hutan terlarang. Pamali dan bahaya kalau dilanggar,” jelas Mang Ndut.

Secara administratif, bentuk kepemimpinan di Kampung Naga ada dua, formal dan informal. Pada bagian formal, mereka mengenal RT, RW, dan Kadus (Kadusunan). Sedangkan informal, khususnya pada kajian adat, kampung ini memiliki Kuncen, Lebe, dan Punduh.

Tani dan kerajinan     

Pada waktu-waktu tertentu, kita akan melihat bagaimana warga kampung ini bekerja sama untuk menegakkan kehidupan. Jika di belahan dunia kapitalisme kesibukan ekonomi ditandani dengan saling gilas, maka warga Kampung Naga terlihat bersahaja dengan bahu-membahu menebar kail dalam sebuah kolam kecil.

Untuk menjalankan hidup, seorang warga Kampung Naga hanya butuh kecukupan semata. Dalam bentuk primer; sekadar pangan, sandang, dan papan sudah cukup bagi mereka untuk merangkul kebahagiaan. Mata pencaharian warga di sini rata-rata bertani.

Selain itu, dalam kreativitasnya, mereka juga mengkreasikan diri membuat aneka macam kerajinan. Sebagai desa yang telah diminati sebagai obyek wisata, kerajinan seperti tas, anyaman, aksesoris, dan kipas pun laku terjual. Disebutkan seorang warga, kerajinan ini juga dibawa oleh pemborong ke beberapa kota seperti Tasikmalaya dan Garut.

Dari hasil bertani, mereka bisa mendapat 4 kuintal per kepala keluarga dalam setiap masa panen atau sekitar 6 bulan sekali. Ini bisa mencukupi konsumsi harian dan bekal untuk menanti panen berikutnya.

Kebiasaan unik kadang muncul dari sebutir padi. Gabah yang telah ditumbuk menjadi beras akan disimpan dalam sebuah ruang kecil di bagian dapur di setiap rumah. Untuk mengambil beras, aturan di kampung ini menyebutkan yang hanya boleh mengambil beras adalah istri. Pantang bagi anggota keluarga lain melihat lumbung beras ini karena menghormati hak dari istri.

Silaturahmi lewat wisata

Dari sisi adat, sebagian orang mungkin mengira Kampung Naga dikungkung keterbelakangan. Banyak yang menyatakan bahwa warga di kampung adat minim informasi. Namun, warga di kampung ini ternyata banyak yang menggunakan telepon seluler dan memiliki televisi.

Mereka tetap mengikuti tren. Namun latar belakangnya adalah karena ”jendela” wisata ditambah warga aslinya yang hidup di luar membawa beragam informasi masuk ke kampung ini.

”Masyarakat kita juga sekolah. Beberapa ada yang sampai perguruan tinggi. Dari mereka dan wisatawan, kita banyak mendapat informasi baru yang boleh dibawa ke Kampung Naga selama tidak melanggar adat,” lanjut Mang Ndut.

Bagi warga Kampung Naga, kehadiran wisatawan selain memberi keuntungan materi bagi kampungnya juga sebagai jembatan penyalur informasi. Yang terpenting adalah membangung silaturahmi lewat sebuah wisata.

”Buat saya selama ini wisatawan di Kampung Naga adalah pembawa informasi sekaligus pemanjang tali silatuhrami. Selama mereka tidak melanggar aturan adat yang ada, kami akan menerima kunjungannya. Selama ini, mereka tidak ada yang melanggar dan taat pada aturan,” ucap Mang Ndut.

Sampai saat ini, sudah banyak warga Kampung Naga yang merantau untuk bekerja atau sekolah. Karena aturan yang hanya boleh memakai lahan seluas 1,5 hektar, mereka yang menikah dan butuh rumah terpaksa harus tinggal di luar Kampung Naga.

Namun, meski keluar wilayah, warga Kampung Naga akan kembali di waktu-waktu tertentu untuk menggelar upacara adat dan lainnya. Warga asli tetap mengikuti adat walau tidak tinggal di dalam.

Tata aturan

Semua rumah di Kampung Naga menghadap utara dan selatan. Tujuannya agar bangunan saling berhadapan dan terjadi sosialisai antartetangga. Untuk struktur, bangunan berkonsep semi permanen yang hanya menempel di tanah. Tujuannya agar mudah dipindahkan dan juga menjaga ekologi dalam tanah. Selain itu, dengan tata fondasi seperti ini, rumah di sini terbukti tahan gempa.

Listrik tidak pernah boleh masuk ke Kampung Naga. Bukan tidak memberikan ruang kemajuan, tapi untuk menghindari kebakaran dan sebagainya. Bukan hanya itu, dinding kayu di bagian dapur dibuat dengan pori-pori besar yang bertujuan untuk mengantisipasi risiko kebakaran.

Di balik hal masuk akal, kampung ini menyimpan berbagai aturan yang belum terjelaskan. ”Setiap bulan Safar dan Ramadhan serta hari Selasa, Rabu, dan Sabtu, tidak boleh menceritakan sejarah kental Kampung Naga. Alasannya ya pamali, karena warga di sini selalu paham konsep amanat, warisan, dan akibat,” tutur Ndut.

Yang mengagumkan, hanya dengan satu kata pamali, tanpa adanya perundangan tertulis, warga Kampung Naga selalu taat pada setiap aturan dan kebiasaan leluhur mereka. Ini seakan menjadi pengingat bagi masyarakat modern yang acap apatis pada perarturan. Adopsi ringan yang mungin bisa diaplikasikan dari sebuah perjalanan wisata Kampung Naga, hanya karena pamali semua tunduk menjaga tradisi. [*]

Baca juga: Mengenal Batik Gedog, Batik Khas dari Perdesaan Tuban