Beberapa titik perkembangan teknologi dalam satu dasawarsa terakhir membuat kemampuan kamera ponsel semakin bisa diandalkan. Mulai dari fitur HDR hingga dual lens—yang akhir-akhir ini banyak melengkapi kamera ponsel—membuat hasil jepretan dari kamera ini nyaris tidak bisa dibedakan dari kamera profesional.

Andry bukannya tak hirau pada hawa dingin Kawasan Dieng, Wonosobo, yang seolah menggigit sekujur tubuhnya. Namun, keinginannya untuk difoto siluet dengan hanya mengenakan kaus dan celana panjang akan tampak dramatis bermandikan cahaya yang samar oleh kabut. “Tolong fotoin, saya lari ke bawah lampu sana. Pakai hape ini aja, bagus kok.”

Tak butuh waktu lama untuk mendapat hasil foto yang diinginkan videografer tersebut. Cahaya yang minim dan ketiadaan tripod bukan penghalang untuk mendapat hasil jepretan yang baik (tajam, terang, dan tidak blur).

Sejurus kemudian, foto tersebut sudah terpajang di media sosial. Puluhan view serta beberapa komentar positif segera muncul di notifikasi. Andry semringah.

Sementara itu, sekitar 450 kilometer dari tempat Andry berdiri, tepatnya di Jakarta, Sulis tampak cemas. Artikel perjalanan wisata yang ia buat untuk sebuah koran terbitan nasional ternyata membutuhkan lebih banyak foto pendukung yang lebih bervariasi. Padahal, semua hasil jepretan dari kamera DSLR-nya sudah ia kirim semua. Tidak ada pilihan lain, ia terpaksa harus mengirim foto yang ia ambil dari kamera ponsel meski dengan kekhawatiran fotonya tidak layak cetak karena ukurannya terlampau kecil.

Namun, kekhawatiran Sulis pupus. Foto-foto dari kamera ponselnya yang keluaran 2013 ternyata hasilnya cukup baik dan layak cetak. Sesuatu yang beberapa tahun lalu sulit—kalau tidak mau dibilang mustahil—untuk didapat.

Berbagi

Sulit menampik pendapat yang menyatakan bahwa fitur dan spesifikasi kamera ponsel masa kini mulai “menggerogoti” kemampuan kamera serius. Lebih-lebih untuk kamera jenis point and shoot, karena untuk bisa menyaingi DSLR kamera ponsel masih kalah dalam beberapa hal seperti kombinasi lensa.

Berkat fotografi komputasi, boleh jadi kemampuan kamera ponsel tak lagi bisa dipandang sebelah mata dan mengubah banyak hal. Misalnya dalam tren photo sharing, yang jejaknya pertama kali pada 11 Juni 1997, di mana kala itu Philippe Kahn ingin memotret anaknya yang baru lahir dan membagikan foto tersebut ke orang terdekat.

Hasilnya, seperti dilansir techspot.com, ia menggunakan kamera digital Casio QV, ponsel Motorola StarTAC, dan sebuah laptop untuk memotret dan menyebarkan gambar, yang saat itu ia sebut dengan istilah Instant-Picture Mail.

Foto dokumen Shutterstock.com

Dari titik tersebut, sampai sekarang, tentu sudah terjadi lompatan besar. Hingga kini, kita mengenal fitur dual lenses yang memberi beberapa keuntungan seperti hasil yang lebih optimal saat melakukan zooming serta efek bokeh. Fotografi komputasi juga berkembang, membuka lebih banyak kemungkinan orang untuk mendapatkan foto yang apik.

Belum lagi dengan adanya aplikasi pengolah foto, yang kini tak sekadar melakukan cropping dan mengubah foto ke dalam format hitam-putih, tapi juga bisa melakukan tugas lain seperti mengatur kontras, saturasi, efek double exposure, vignette, hingga pengolahan lain yang dulu hanya mungkin dilakukan lewat software komputer.

Irfan Essa, seorang profesor di Georgia Institute of Technology yang juga memimpin Interdisciplinary Research Center for Machine Learning mengatakan, “Fotografi komputasi telah bergerak dan memiliki kemampuan lebih dari sekadar menangkap piksel, tetapi juga menangkap cahaya.” Ia menambahkan, ini memungkinkan kita bisa melakukan lebih banyak hal.

Ya, pada era kemajuan teknologi, kita semakin mengenal kredo, “yang baru menggeser yang lama—yang ku­rang efisien”. Mungkinkah hal serupa terjadi, kamera “serius” yang kurang efisien diganti oleh kamera ponsel yang ringkas dan praktis? [ASP]

Foto : Iklan Kompas/ Wahyu Hidayat.

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 3 Februari 2018