Konsumsi plastik di Indonesia kian memprihatinkan. Sebesar 17 kilogram per tahun per kapita, dengan pertumbuhan konsumsi mencapai 6–7 persen per tahun. Dari jumlah itu, hanya 10 persen yang bisa didaur ulang. Sisanya berada di tempat pembuangan akhir, terserak di ruang publik, atau berakhir di pesisir dan lautan. Pada 2050, sampah plastik di lautan diperkirakan lebih banyak ketimbang jumlah ikan.

sampah plastik

Selama dua tahun belakangan, komunitas Divers Clean Action (DCA) melakukan penelitian tentang sampah di Kelurahan Pulau Pramuka dan Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Komunitas ini menemukan, terdapat 6,16 kilogram sampah pada setiap 100 meter pantai di Pulau Pramuka dan 31,31 kilogram sampah pada setiap 100 meter persegi laut Pulau Pramuka.

Mereka juga mendata jenis-jenis sampah. Secara umum, sampah plastik adalah jenis yang paling banyak ditemukan. Jumlah sampah sedotan pun mencengangkan, sebanyak 1,45 kilogram. Bila dijajarkan, jumlah ini setara 12 gerbong kereta.

Selain itu, DCA melakukan penelusuran sampah untuk mengetahui ke mana dan dari mana sampah-sampah di Kepulauan Seribu. Bekerja sama dengan Universitas Padjadjaran, komunitas ini menerapkan sistem penelusuran dengan GPS. Hasilnya, sampah-sampah di Kepulauan Seribu dan daratan Jakarta saling berpindah. Pada musim angin timur, sekitar April–Juni, sampah-sampah dari Kepulauan Seribu terbawa ke Jakarta. Sebaliknya, pada musim angin barat, sampah-sampah dari Jakarta mengarah ke Kepulauan Seribu.

Bergerak bersama

DCA adalah lembaga swadaya masyarakat dan komunitas berbasis riset yang berfokus pada isu sampah lautan. Komunitas yang diinisiasi Swietenia Puspa Lestari, Nesha Ichida, dan M Adi Septiono ini berdiri sejak November 2015. Gagasan pembentukan komunitas ini bermula dari keprihatinan beberapa penyelam, termasuk Tenia, panggilan Swietenia, akan banyaknya sampah di pantai dan dasar laut.

masyarakat membersihkan sampah

“Sejak kecil, aku dekat dengan laut. Ayah sempat menjadi Kepala Taman Nasional Kepulauan Seribu pada 2003–2007. Aku belajar menyelam sejak SMP. Kemudian, lama-kelamaan, berdasarkan pengalaman menyelam dari Kepulauan Riau di barat sampai Papua di timur, aku merasa sampah-sampah di dasar laut kian banyak,” cerita Direktur Eksekutif DCA ini, Selasa (26/12).

Hal itulah yang membuatnya sadar, ia tak bisa hanya terus mengeluh, lantas membentuk DCA dan mengawali aksi mereka dengan bersih-bersih laut di Kepulauan Seribu pada Februari 2016, bertepatan dengan Hari Peduli Sampah Nasional. Setelah itu, aksi bersih-bersih laut dilakukan pula di sejumlah perairan dan pulau-pulau lain di Indonesia, dengan melibatkan komunitas penyelam setempat. Kini, DCA yang dinaungi Yayasan Penyelam Lestari Indonesia, bekerja bersama lebih dari 2.500 relawan.

DCA memiliki sejumlah program, antara lain mengumpulkan sampah laut, menelusur pergerakan sampah lewat artificial debris research, kampanye tentang pentingnya keberlangsungan lingkungan (khususnya di kawasan perairan laut), lokakarya untuk wisata bahari, dan menyelenggarakan Indonesian Youth Marine Debris Summit (IYMS).

Keberlanjutan lingkungan laut memang menjadi tanggung jawab banyak pemangku kepentingan. Pemerintah, perusahaan, wisatawan, pekerja pariwisata, dan masyarakat lokal. DCA bekerja sama dengan para pemangku kepentingan itu agar kelestarian lingkungan didukung dari berbagai sisi. Komunitas ini, misalnya, bekerja sama dengan perusahaan air minum untuk meriset sampah kemasan air minum sekali pakai di Kepulauan Seribu. Kerja sama dengan salah satu perusahaan makanan cepat saji berfokus pada penelitian tentang sampah sedotan dan upaya pengurangan penggunaan sedotan.

Upaya mengedukasi masyarakat Kepulauan Seribu dilakukan dengan beragam pelatihan, misalnya membuat ember dari sampah plastik, membuat ecobrick, program kapal bebas sampah, dan katering zero waste. Hasilnya sudah mulai tampak.

“Masyarakat memanfaatkan sampah saset, yang selama ini tidak laku dijual, untuk membuat ecobrick,” kata Tenia. Ecobrick dibuat dari potongan sampah plastik yang dijejalkan ke dalam plastik botol minuman. Ecobrick bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, misalnya dijadikan meja atau standar labuh kapal.

“Satu ecobrick berisi 300 gram sampah saset. Satu meja membutuhkan 12 ecobrick dan 1 standar labuh dibuat dari 4 ecobrick. Sekarang ada 15 standar labuh di Kepulauan Seribu. Sudah dibuat 50 sebenarnya, tetapi yang lain belum dipasang,” cerita Tenia.

DCA sadar, Indonesia yang begitu besar ini membutuhkan banyak tangan untuk bergerak. Oleh karena itulah pada Oktober silam mereka menyelenggarakan Indonesian Youth Marine Debris Summit (IYMS), pelatihan dan implementasi program terkait isu sampah laut. Pesertanya adalah mereka yang terseleksi, dua orang dari setiap provinsi di Indonesia.

“Ada 14 grup dari 70 peserta. Mereka akan memulai proyek mereka masing-masing di daerahnya, dan ini dipantau sampai September 2018,” jelas Tenia. Laut, seperti juga tanah, adalah sumber kehidupan. Saatnya mengambil bagian dalam pemeliharaan keberlangsungannya. [NOV]

 

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 28 Desember 2017