Hewan lain pun enggan berteman dengan Jelarang. Jelarang berbulu hitam dan coklat, badannya pun lebih besar dari tupai kebanyakan. Ia tampak sangat unik, tetapi juga sedikit menakutkan.
Meski tidak suka bercengkerama, sesungguhnya Jelarang adalah hewan yang baik. Ia suka membagi kelebihan makanannya pada tetangga. Ia juga tidak segan membantu hewan lain yang kesulitan.
Suatu ketika, Jelarang mendapat kemalangan. Rumahnya lenyap karena pohon tempatnya tinggal ditebang sembarang. Jelarang amat sedih dan kebingungan.
Beberapa hewan yang melihat kemalangannya tampak tidak peduli. Mereka berpikir, Jelarang tidak pantas dibantu karena rupanya yang buruk dan sifatnya yang suka mengasingkan diri.
Namun, tidak demikian dengan Ibu Kelinci. Ia menyediakan ruang di liangnya untuk tempat tinggal Jelarang. Melihat hal itu, para hewan keheranan.
“Untuk apa kau membantu Jelarang?” tanya Tikus Hutan pada Ibu Kelinci.
“Jelarang pernah membantu membujuk anakku yang sedang sedih. Kebaikan kecilnya sangat berarti untukku,” jawab Ibu Kelinci.
Mendengar ucapan Ibu Kelinci, Tikus Hutan jadi teringat. Jelarang pernah membagi sedikit biji-bijian miliknya ketika persediaan makanan Tikus Hutan habis. Tikus Hutan lalu menghampiri Jelarang dan membagi sekeranjang buah miliknya.
Rubah melihat Tikus Hutan membagi buah pada Jelarang. “Mengapa kau membantu Jelarang?”
“Karena ia pernah berbuat baik padaku,” jawab Tikus Hutan singkat.
Rubah pun teringat Jelarang juga pernah membantunya. Rubah hampir saja mati jika saja Jelarang tidak membantu melepaskan jebakan pemburu dari kakinya.
Rubah lalu mencari rumah baru bagi Jelarang ke penjuru hutan. Ia mencari pohon terbaik untuk tempat tinggal baru Jelarang.
“Tinggal di atas pohon tentu lebih nyaman daripada tinggal di liang kelinci,” pikirnya.
Setelah mendapatkan pohon yang cocok. Rubah memanggil Jelarang dan menunjukkan pohon tersebut. Jelarang terkejut karena Rubah mau membantunya. Jelarang amat berterima kasih atas bantuan Rubah. Ia tidak menyangka masih ada yang mau membantunya.
Malangnya Jelarang, karena rupa dan perangai, sering dianggap buruk oleh yang lain. Ia bukanlah hewan yang jahat. Ia hanya tidak suka tempat yang ramai.
Meski tak banyak teman yang mau membantu, Jelarang tetap bersyukur. Ia kembali melanjutkan kehidupannya dan tetap berbuat baik pada hewan lainnya.*
Penulis: Cempaka Noviwijayanti
Pendongeng: Paman Gery (Instagram: @paman_gery)
Ilustrasi: Regina Primalita