Melupakan leluhur ibarat anak sungai tanpa sumber air, pohon tanpa akar. Begitu bunyi sebuah pepatah China. Di antara banyak bangsa, China menjadi salah satu bangsa dengan budaya penghormatan leluhur paling kuat.

Sebuah bus yang berisi sekelompok orang dari Indonesia, Malaysia, dan Vietnam menyusuri Zhongsan 7th Road di Guangzhou, China, pertengahan Juni lalu. Penumpangnya, yang sebagian besar baru pertama kali mengunjungi Guangzhou, selalu melayangkan pandangan ke sekitar lewat jendela. Lalu mata mereka melihat bangunan itu, Chen Clan Ancestral Hall, yang kontras dengan sekitar.

Di antara deretan toko dengan latar gedung-gedung yang cukup tinggi, sebuah bangunan berarsitektur kuno dengan warna dominan abu-abu terasa mencolok. Beragam ornamen khas China menghiasi atap bangunan ini. “Kita sudah sampai. Bus berhenti di sini saja dan kita akan menyeberang menuju bangunan itu,” kata pemandu tur.

Chen Clan Ancestral Hall seolah membawa pengunjungnya menyambangi masa silam. Langgam-langgam arsitektur, sejarah bangunan, dan ornamen-ornamennya berasal dari China lampau. Bangunan ini mulanya dibangun anggota marga Chen pada 1894 sebagai wujud penghormatan kepada leluhur sekaligus akomodasi temporer bagi keluarga Chen yang lebih muda. Chen Clan Ancestral Hall sempat beralih fungsi sebagai menjadi Chen Clan’s Industry College dan sekolah menengah sebelum saat ini menjadi museum.

Untuk mendengarkan kisah dengan lebih jelas, pengunjung bisa mengambil tur singkat bersama pemandu museum. Joana, pemandu yang menemani pelancong dari Jakarta, menunjukkan bagian inti bangunan ini, Traditional Ancestral Hall. Aula ini tidak terlalu besar, setengah lapangan voli kira-kira luasnya. Di bagian depan, kita bisa melihat meja persembahan yang di belakangnya tersusun level-level kayu seperti tribun kecil yang tertata vertikal.

“Di dalam panggung kayu itu tersimpan spirit tablet, penanda leluhur yang telah berpulang,” terang Joana. Ia melanjutkan, orang China punya tradisi menuliskan nama orang yang sudah meninggal pada sebuah plakat kayu dan menyimpannya di kuil.

“Sekarang Chen Clan Ancestral Hall menyimpan lebih dari 10 ribu spirit tablet. Sayangnya, hanya dua tablet asli yang tersisa sejak kuil ini dibangun, tablet-tablet itu ikut dihancurkan pada revolusi budaya tahun 1970-an,” tambah Joana.

Warisan arsitektur

Chen Clan Ancestral Hall juga menjadi tempat yang baik untuk menyelami lebih jauh arsitektur China yang kaya akan filosofi. Kompleks ini terdiri atas 9 aula, 6 halaman, dan 19 bangunan yang terhubung dengan koridor. Konstruksinya simetris, mengikuti gaya tradisional Tiongkok.

Di bagian depan, berhadapan langsung dengan pintu utama, kita bisa melihat panel-panel kayu penuh ukiran cantik. Setiap ukirannya punya makna.

“Lihat ini? Ini bentuk kelelawar. Dalam tradisi China, kelelawar melambangkan kegembiraan,” tutur Joana. Ia lantas bergeser ke ukiran yang lain, “Ini ukiran ayam, menyimbolkan kejujuran dan keberuntungan. Jika dihitung, ada delapan ayam di sini. Angka yang baik menurut orang-orang China.”

Karena Guangzhou di bagian selatan dekat dengan laut, keseharian pun tecermin dalam ukiran ini. Kita mendapati juga misalnya imaji para nelayan yang sedang bersantai setelah bekerja keras.

1907-LANGGAM–GUANZHO_5
1907-LANGGAM–GUANZHO_2
1907-LANGGAM–GUANZHO_3
1907-LANGGAM–GUANZHO_4

Atap aula utama juga punya cerita yang menarik. Atap itu dihiasi beragam figur dari keramik yang diproduksi di Kota Shiwan. “Figur-figur ini merepresentasikan tokoh dalam Opera Guangdong. Melihat atap ini seperti melihat operet,” kata Joana.

Di kedua ujung atap, terdapat figur binatang, anak naga kesembilan yang disebut chiwen. Ia adalah perpaduan ikan dan naga yang dipercaya dapat menelan api. Kehadirannya menjadi dipercaya dapat menghindarkan marabahaya. Semua figur pada atap itu dicat berwarna-warni. Pewarnanya diambil dari mineral alami sehingga mesti dicat ulang setiap sekitar 5 sampai 6 tahun.

Ornamen singa kita temukan pada susuran tangga. “Ornamen singa di daerah selatan memiliki raut yang lebih bersahabat. Itu karena karakter orang-orang di selatan. Lihat, kami ramah dan menyenangkan,” kata Joana sambil tertawa.

Ia lalu menunjukkan lorong penghubung bangunan, qingyun alley. Dalam bahasa China, artinya menggabungkan kedua atap. Orang juga kerap menyebutnya cold alley karena suhu di lorong ini lebih rendah dibandingkan area lain.

Di Chen Clan Ancestral Hall kita juga bisa melihat replika ruang dalam rumah tradisional China, seperti ruang tamu dan kamar utama. Yang menarik, ada yang disebut self-combed woman’s chamber.

Pada era Dinasti Qing, sejumlah perempuan yang berpikiran independen di delta Pearl River menolak perkawinan yang diatur oleh orangtua mereka. Mereka memilih menjadi lajang seumur hidupnya. Untuk menunjukkan determinasinya, mereka menyisir rambut berbentuk sanggul. Mereka kemudian disebut self-combed women.

Para perempuan ini tinggal sendiri. Furnitur mereka biasanya kecil dan punya detail yang cukup rumit. Di replika ruangan itu, ada lemari yang berukir kata-kata puitis yang menggambarkan para perempuan seperti ini. “The pure lady was born from the mystic rock, and the sweet spring comes from the Buddhist well.”

Tak hanya memperlihatkan sejarah bangunan dan dinasti Chen, Chen Clan Ancestral Hall juga menjadi rumah bagi kerajinan-kerajinan lokal yang kaya dan rumit, misalnya ukiran kayu, ukiran batu, ukiran gading, dan patung-patung tanah liat. Menunjukkan betapa berharganya kebudayaan masyarakat China Selatan. [NOV]

Foto-foto Iklan Kompas/ Fellycia Novka Kuaranita

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 17 Juli 2017