Pernikahan terbaik dibangun dari kerja sama tim. Begitu kata pepatah lama. Menikah tak cukup bermodal cinta, sebab kerja sama calon pengantin untuk menyiapkan pesta pernikahan turut menjadi kunci.
Konsep itulah yang sebenarnya diimpikan Olivia Sheiliany (27). Perempuan yang berprofesi sebagai desainer grafis itu, baru saja melangsungkan pernikahannya di pertengahan November lalu. Ia bersama pasangannya merupakan kalangan milenial yang harus kompromi dan kompak untuk mewujukan pernikahan yang ideal.
Namun, kenyataan acap kali tak semulus impian. Awalnya, Olivia dan partnernya merencanakan pesta pernikahan internasional yang simpel. Tak perlu banyak tamu, cukup mengundang teman dan keluarga dekat agar bisa mendapatkan suasana intim dan akrab. Dekorasi yang diinginkan juga mengikuti tren terkini, seperti paduan warna dusty pink, hijau, dan biru yang terinspirasi warna kebun di musim semi.
Sayangnya, pihak keluarga keberatan dengan ide kedua calon pengantin. Kedua orangtua mereka ingin jumlah tamu yang tak sedikit, karena banyaknya kerabat dan relasi yang harus diundang. Warna juga tidak dianjurkan memakai inspirasi warna kebun. Sebaliknya, memakai patron warna pernikahan adat China, yaitu merah dan emas.
Olivia bercerita, “Mau bagaimana lagi, akhirnya mengikuti anjuran orangtua, karena kami menghormati mereka. Saya dan suami saat itu akhirnya menyebar 400 undangan, yang dipastikan menambah biaya resepsi. Untungnya, kami masih mendapat kebebasan menemukan venue, termasuk memilih satu per satu vendor pernikahan. Barulah di hari-H, penyelenggaraannya dibantu wedding organizer.”
Berbeda dengan Olivia, Gunung Aditomo (49) teringat keluarga berperan penuh dalam persiapan pernikahannya. Mulai dari menentukan hari pernikahan, mencari tanggal “baik” menurut perhitungan weton, hingga pelaksanaan resepsi yang meriah dengan adat Jawa.
Gunung menghelat pernikahan hampir satu dekade silam, Juli 1998. Mengingat pernikahannya memakai konsep tradisional Yogyakarta dan ada 1.000 undangan yang disebar, Gunung membutuhkan bantuan dari panitia.
Dia bercerita, “Untuk membantu persiapannya, saat itu kami dibantu panitia yang mencakup keluarga dan teman-teman terdekat. Maklum saja, orangtua menghendaki pernikahan saya memakai prosesi adat Jawa yang komplet. Tidak mungkin, saya dan pasangan mengerjakannya sendirian.”
Gunung yang berprofesi sebagai pekerja media itu mengatakan, ada beberapa hal esensial yang perlu diperhatikan ketika berencana menikah. “Yang pertama adalah kesiapan mental. Kedua, perlunya mendapat restu orangtua. Kemudian perlengkapan surat-surat dan penyusunan rencana, menjadi elemen lain yang patut diutamakan juga.”
Pergeseran konsep
Tidak dimungkiri, banyak anak muda sekarang memiliki pemahaman bahwa resepsi pernikahan perlu dibuat lebih sederhana. Lantaran biayanya berasal dari kocek mereka sendiri. Perbedaan konsep pernikahan internasional dan tradisional di Tanah Air, turut dirasakan Telly Sutaryo (36), founder Cherish The Organizer. Bisnis yang digelutinya adalah wedding organizer yang bermarkas di Jakarta.
Sejak dirintis 2009, rata-rata jumlah konsumen per tahun sekitar 50 klien. Jumlah tersebut didominasi konsep pernikahan internasional. Namun,Telly juga tidak menampik kebutuhan klien yang minta dibantu untuk mengadakan pernikahan tradisional.
Uniknya lagi, baik ketika mengadakan pernikahan internasional maupun tradisional, dia melihat ada peningkatan biaya pernikahan, terutama untuk dekorasi. Telly melihat sejak 8 tahun terakhir, bujet dekorasi cukup meroket. “Dulu dengan Rp 10 juta, kita sudah bisa mendapat dekorasi bagus. Sekarang, dengan nominal tersebut, mustahil mendapatkan dekorasi berkualitas tinggi,” sebutnya.
Pernikahan tradisional, lanjut Telly, memang lebih kompleks karena banyaknya anggota keluarga yang terlibat dan tata cara adat yang beragam jenisnya. Meski tidak serumit pernikahan tradisional, menurutnya, klien-klien yang menghelat pernikahan internasional terutama dengan bujet lebih besar, cenderung lebih detail karena background profesinya.
“Pengalaman saya, menghadapi klien seperti itu, misalnya yang punya background tertentu desainer atau arsitek, punya concern tinggi terhadap dekorasi. Begitu pula misalnya yang bekerja di bidang musik, mereka amat detail dalam menyeleksi hiburan musik yang akan ditampilkan,” aku Telly.
Singkat cerita, calon pengantin masa kini lebih berani “memutuskan” konsep pernikahan mereka. Dikutip dari situs web Bridestory, terdapat survei yang menyebutkan bahwa calon mempelai laki-laki dan perempuan saat ini menjadi penentu utama dari rencana pernikahan mereka. Persentasenya 70,6 persen dari responden. Selain itu, 52,6 persen dari responden juga menyatakan bahwa mereka membiayai pernikahan mereka sendiri.
Jadi, seiring bergantinya zaman, calon pengantin kelak akan lebih memiliki otoritas dalam merencanakan pesta pernikahannya. Orangtua boleh saja menyumbang ide yang neko-neko, tapi mempelailah yang berhak memutuskan. Sebab, pengantin baru inilah yang akan mengarungi samudera rumah tangga dan menanggung semua tantangannya, bukan yang lain. [AJG]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 8 Desember 2017