Anda tentu sudah akrab dengan istilah jalan tol atau jalan berbayar. Jalan ini dibangun dengan tujuan mempersingkat jarak dan memperlancar perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Namun, tahukah Anda di mana jalan tol pertama di Indonesia dibangun?
Konsep jalan tol sebenarnya sudah ada sejak 2.700 tahun lalu. Ketika itu, di kawasan Timur Tengah, para musafir membayar jalan raya yang menghubungkan Susa dan Babilon di bawah rezim Ashurbanipal.
Aristoteles dan Pliny juga menyebutkan bahwa jalan berbayar sudah diberlakukan di Arab dan bagian Asia yang lain. Di India, hal ini sudah diberlakukan sebelum abad ke-4 sebelum Masehi. Suku asli Jerman meminta bayaran kepada pelancong yang melintasi gunung.
Setelah itu, pada abad pertengahan, banyak jalan di Eropa yang memang dikonstruksi sebagai jalan tol untuk mengembalikan biaya konstruksi atau perawatan, sekaligus sebagai pajak yang dibayarkan orang yang bukan penduduk asli.
Di Indonesia, jalan tol pertama yang dibangun adalah tol Jagorawi yang menghubungkan Jakarta dan Bogor. Meski pembangunannya dimulai pada 1973, jalan tol ini baru benar-benar dioperasikan pada 1978. Jalan tol Jagorawi saat itu memiliki panjang 59 kilometer. Pembangunan ini didanai anggaran pemerintah dan pinjaman luar negeri yang diserahkan kepada PT Jasa Marga sebagai penyertaan modal. Selanjutnya, PT Jasa Marga mendapat tugas untuk membangun sejumlah jalan tol yang baru dengan ongkos pembebasan tanah dibiayai pemerintah.
Teknologi pembangunan jalan tol—yang kini sebagian besar adalah jalan layang—di Indonesia mengalami perkembangan ketika ada rencana pembangunan jalan layang antara Cawang sampai Tanjung Priok pada 1987. Persoalan yang timbul, diperlukan deretan tiang beton untuk menyangga badan jalan. Satu sama lain berjarak 30 meter dan di atasnya membentang tiang beton selebar 22 meter.
Batang vertikalnya (pier shaft) berbentuk segi enam bergaris tengah empat meter dan berdiri di jalur hijau. Yang merepotkan adalah mengecor lengannya (pier head). Dengan cara konvensional, yang dilakukan adalah memasang besi penyangga (bekesting) di bawah bentangan lengan, tetapi bekesting itu akan menyumbat jalan raya di bawahnya.
Terkait masalah itu, Ir Tjokorda Raka Sukawati mengajukan gagasan dengan membangun tiangnya dulu dan kemudian mengecor lengannya dalam posisi sejajar dengan jalur hijau dan setelah itu diputar membentuk bahu.
Dengan memanfaatkan silinder yang dibuat sebagai dongkrak hidrolik, pier head berhasil diputar. Teknologi ini kemudian diberi nama Sosrobahu, dari nama tokoh cerita sisipan Mahabarata. Teknik yang ditemukan Tjokorda ini juga digunakan dalam membangun jembatan di Seattle. Teknik Sosrobahu kini masih digunakan dalam membangun jalan layang. Sistem ini diakui sangat aplikatif, teruji, dan ekonomis. [*/NOV]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 2 Desember 2013
Foto: dok.iklan Kompas/Wahyu Hidayat