Tiba-tiba merasa sedih dan tidak berdaya. Ketika bayi menangis, saya hanya melihatnya dari kejauhan. Bahkan, saya ikut menjerit seiring teriakannya makin kencang. Suatu ketika, saya mengangkat ponsel dan mengancam akan menjatuhkannya tepat di atas kepala bayi saya yang usianya masih hitungan minggu. Beruntung, suami saya tetap sabar dan menyadarkan saya agar tidak melakukannya.

Berryl (35), memang pernah melewati masa pasca-melahirkan yang tak seindah adegan film. Ia justru merasa asing dengan anaknya. Saya tidak pernah menyangka, punya anak akan segitu repotnya. Apalagi saat itu saya dan suami tidak punya helper sama sekali. Orangtua kami masing-masing di luar kota dan belum punya ART (asisten rumah tangga). Tidak ada orang yang mengajarkan kami untuk ini-itu,ceritanya sambil tersenyum.

Beruntung, tidak butuh waktu lama bagi Berryl untuk mengalami masa-masa kelabu ini. Suaminya pun tidak pernah protes, justru selalu membantu mendampinginya. Mereka sadar, ini fase baby blues.

Baby blues, istilah yang kian akrab di telinga ibu-ibu muda ini memang merupakan fase alamiah yang dialami sekitar 80 persen ibu melahirkan. Perubahan tubuh dan hormonal, faktor kurang tidur dan kelelahan, serta berbagai perubahan lain memicu munculnya perasaan tidak nyaman pada ibu-ibu yang baru saja melahirkan.

Menurut psikolog Anna Surti Ariani Psi, yang akrab disapa Nina, baby blues muncul 35 hari pasca-melahirkan dan biasanya berlangsung selama 12 minggu. Baby blues akan hilang dengan sendirinya, tanpa harus ada pengobatan atau treatment khusus. Namun, jika mulai mengarah menyakiti buah hati, bisa jadi itu bukan baby blues, ujarnya.

Nina menjelaskan, masalah pasca melahirkan terdiri atas tiga jenis. Yang paling dasar, baby blues. Pada tataran yang lebih tinggi, ada yang namanya postpartum depression dan postpartum psychosis.

Postpartum depression atau depresi pascapersalinan bisa muncul setelah mengalami fase baby blues. Namun, bisa juga tidak mengalami fase baby blues, langsung mengalami depresi pasca-persalinan. Jadi, biasanya muncul 24 minggu setelah melahirkan dan bisa berlangsung sampai setahun, ujar Nina.

Ibu yang mengalami depresi pasca-persalinan menunjukkan perilaku yang sedikit berbeda dengan fase baby blues. Biasanya, ibu akan kehilangan minat terhadap banyak hal, termasuk bayinya. Malas menyusui dan menggendong bayi, nafsu makan hilang, dan susah tidur yang bukan disebabkan karena bayinya selalu terbangun dan minta susu. Mereka juga cenderung mudah tersinggung, sulit konsentrasi, dan tidak bahagia. Yang bahaya pada fase ini, kadang muncul keinginan untuk bunuh diri pada ibu, terang Nina lagi.

Psikosis pasca-persalinan juga umumnya muncul 24 minggu sesudah melahirkan. Namun, bisa berlangsung lebih lama dan merupakan gangguan akibat tekanan jiwa sangat berat. Nina menjelaskan, pada tahapan ini, ibu yang baru melahirkan mengalami halusinasi dan delusi. Ia sering dalam kondisi linglung, kerap bicara melantur, sulit mengontrol pikiran dan perasaan, serta mengalami serangan panik. Yang paling membahayakan, mereka juga sulit mengontrol keinginan tiba-tiba mencelakakan bayi, yang dapat berakibat fatal.

Kenali dan pahami

Proses hamil dan melahirkan memang kerap tak semudah dan seindah yang dibayangkan. Sebagian perempuan harus melewati proses kehamilan dan melahirkan yang kompleks.

Pada era urban, proses menjadi ibu pun menemui tantangannya tersendiri. Itu sebabnya, dukungan suami dan keluarga terdekat amat penting untuk kebaikan ibu dan bayi yang baru saja dilahirkan.

Perubahan hormon, ibu yang merasa dirinya sanggup tanpa bantuan orang lain, tidak punya support system yang memadai, atau asupan nutrisi tidak terjaga, itu semua bisa mencetuskan baby blues. Zaman sekarang juga, kan, mommy competition begitu kuat, semua saling bersaing lewat media sosial. Jika tidak kuat, akan rentan mengalami depresi karena merasa gagal jadi ibu atau merasa bukan ibu yang baik, kata Nina.

Lebih jauh Nina menjelaskan, depresi pasca-persalinan biasanya berkorelasi dengan masa lalu. Jika pernah mengalami depresi, akan lebih berisiko mengalaminya. Ibu yang mengalami depresi, yang kerap kali tak disadari diri sendiri maupun orang di sekelilingnya, jika tidak ditangani akan lebih rentan kambuh pada kemudian hari.

Sementara itu, orang yang mengalami psikosis pasca-persalinan biasanya memiliki tekanan hidup yang luar biasa berat dan tidak punya dukungan atau support system. Misalnya, pada korban kekerasan dalam rumah tangga. Suaminya tidak membantu si istri sama sekali, hanya duduk-duduk, sementara kondisi keuangan juga berat. Ibu sebenarnya sudah stres, lalu dipicu dengan proses melahirkan sehingga mengalami tekanan jiwa berat, terang Nina. Ibu yang mengalami psikosis pun memerlukan pendampingan profesional untuk bisa melewati setiap fasenya.

Memahami setiap proses yang dilalui istri pada fase sebelum, saat melahirkan, dan pasca-melahirkan menjadi PR utama dari setiap calon ayah. Bantuan suami bisa dari yang paling sederhana, seperti mengusahakan cuti saat istri melahirkan dan mendampinginya selama beberapa hari selanjutnya.

“Kalaupun tidak bisa membantu mengurus anak, bisa membantu menuntaskan pekerjaan rumah tangga. Tugas suami juga untuk ‘menyetop’ tamu yang datang. Karena setelah melahirkan, ibu biasanya lelah sekali dan butuh istirahat cukup. Jadi, bisa disiasati dengan menemui tamu-tamu yang datang dan menunggu sampai istri siap keluar kamar,terang Nina.

Menyediakan asupan makanan bergizi yang dibutuhkan tubuh sang ibu baru, hingga menahan diri untuk tidak banyak berkomentar negatif—yang berkaitan dengan cara mengasuh bayi juga bisa amat membantu memberi energi positif pada sang ibu. Menciptakan lingkungan yang positif dan selalu peka terhadap perubahan perilaku yang terjadi, bisa menjadi langkah awal untuk menjaga kondisi ibu.

Lagi pula, setiap proses melahirkan itu berbeda. Bagi ibu yang melahirkan lebih dari sekali dan tidak ada masalah berarti, tidak tertutup kemungkinan dapat mengalami masalah pasca-persalinan, pungkas Nina. [ADT]

foto: shutterstock

noted: Ini (Bukan) Baby Blues