Bepergian menggunakan pesawat juga membuat waktu tempuh jauh lebih efisien. Terbang dari Jakarta ke Jayapura misalnya, hanya membutuhkan waktu sekitar 5 jam. Bandingkan dengan perjalanan kapal laut yang bisa menghabiskan waktu sepekan.
Meski terbang aman, tak lantas membuat setiap penumpang pesawat menjadi tenang dan tenteram selama mengangkasa. Apalagi jika terbang di musim hujan, saat cuaca sering meradang. Menatap gumpalan awan kelam menggantung di langit saja sudah membuat hati bergetar. Belum lagi bila ditingkahi kilatan halilintar dan petir yang menggelegar, tentu akan membuat nyali melempem.
Namun, pesawat terbang masa kini bukanlah didesain tanpa memperhitungkan kondisi ekstrem. Pesawat-pesawat modern telah dilengkapi begitu banyak perangkat keamanan untuk mendukung keselamatan penerbangan. Salah satu contohnya, radar cuaca modern yang bisa mendeteksi sel-sel badai di sepanjang rute penerbangan. Bahkan gambaran cuaca yang terendus radar ini cakupannya bisa ratusan kilometer dari titik awal penerbangan.
Penulis buku Believe It or Not Dunia Penerbangan Indonesia yang juga seorang penerbang, Chappy Hakim, pernah menjelaskan tentang aktivitas pilot sebelum terbang. Salah satunya, membuat perencanaan penerbangan atau flight plan. Saat mengisi flight plan, pilot akan mempelajari kondisi cuaca di sepanjang rute penerbangan hingga keadaan cuaca di bandara tujuan.
Data cuaca itu bisa bersumber dari pencitraan satelit yang dirilis oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Oleh stasiun BMKG di setiap bandara, prediksi cuaca pada hari itu diserahkan kepada pilot dan maskapai penerbangannya. Setelah itu, pilot akan menyempurnakan pengisian flight plan-nya kira-kira 30 menit sebelum terbang.
Maka, setelah penumpang masuk ke kabin pesawat, ada kalanya kapten pilot memberi pengumuman tentang prakiraan cuaca selama penerbangan. Baik cerah maupun berawan, serta ada tidaknya guncangan. Sedangkan kondisi cuaca di bandara tujuan biasanya akan diumumkan di tengah penerbangan berikut jarak pandang dan suhu udara di darat.
Meski sudah dilengkapi teknologi sangat canggih dan ditunjang flight plan, bukan berarti penerbangan yang berlangsung menjadi bebas risiko. Sebab, cuaca bisa berubah begitu cepat. Oleh sebab itu, di kokpit, para pilot terus memantau keadaan cuaca, baik mempelajari pencitraan radar maupun pengamatan visual. Selain itu, para pilot terus memantau kinerja teknis pesawat sambil rutin berkomunikasi dengan pengatur lalu lintas udara (ATC) di darat.
Dalam bukunya tadi, Chappy menyebutkan beberapa risiko kecelakaan penerbangan karena faktor cuaca. Selain akibat jarak pandang pilot yang terganggu hujan, kecelakaan bisa disebabkan tailwind—angin dari arah belakang yang membuat pesawat meluncur lebih cepat—yang sering muncul mengikuti windshear—angin yang berubah arah secara tiba-tiba—yang biasa terjadi saat cuaca buruk.
Fenomena cuaca lain yang berbahaya bagi penerbangan adalah microburst sebagai “komponen” dari adanya awan comulunimbus (Cb). Microburst sering digambarkan sebagai angin yang mengempas ke bawah atau mendorong ke bawah (downdraft). Jika sudah terperangkap di medan microburst, pesawat sebesar apa pun bisa terbanting sampai jatuh.
Kecelakaan yang dialami pesawat Lockheed L-1011 Tristar milik maskapai Delta Airlines pada 2 Agustus 1985 di Bandara Internasional Dallas-Fort Worth, Texas, Amerika Serikat, bisa menjadi contoh betapa mengerikannya fenomena microburst.
Kunyah permen karet
Michael (36), pilot suatu maskapai di Singapura, berkisah tentang pengalamannya menghadapi cuaca buruk saat terbang. “Saat itu tahun 2015, aku terbang di atas Laut Andaman di utara Aceh. Malam hari. Radar cuaca di kokpit menunjukkan warna merah yang luas dan hanya sedikit warna hijaunya. Kapten meminta izin kepada ATC untuk berputar.”
Warna merah menandakan zona yang harus dihindari, sedangkan hijau menunjukkan area yang aman dilewati. Setiap detik, lanjut Michael, pesawat semakin mendekati daerah merah itu. Secara kasatmata, kilatan-kilatan petir menerangi gelapnya malam.
“Kami pun mulai terguncang. Beruntung ATC merespons cepat, kami terbang berputar di tepian badai. Guncangannya cukup lumayan. Tapi selama mengikuti prosedur dan aturan, niscaya penerbangan akan aman,” imbuhnya.
Awan Cb, kata Michael, tidak boleh diterabas. Gumpalan awan ini bisa menjulang cukup tinggi di angkasa. Isinya petir dan es. Dalam jumlah tertentu, es yang terisap mesin pesawat bisa menyebabkan kegagalan mesin. Selain itu, kaca kokpit bisa retak jika terhantam butiran-butiran es.
“Kalau bicara sambaran petir, sebenarnya sangat jarang kasus itu terjadi pada pesawat yang sedang mengudara. Apalagi bodi pesawat telah didesain sedemikian rupa agar tahan terhadap sengatan petir dan sistem kelistrikan pesawat tidak terganggu. Kalaupun tersambar petir, pilot akan memilih untuk segera mendaratkan pesawat sebagai langkah antisipasi meski kondisi pesawat bisa jadi baik-baik saja,” ujar Michael.
Selama 12 tahun menjadi pilot, turbulensi yang dikhawatirkan Michael justru jika terjadi saat cuaca tampak terang-benderang. Dalam semesta aviasi, kejadian ini dikenal dengan istilah clear air turbulence (CAT). Jika awan badai bisa terdeteksi radar, pemicu CAT yang biasanya berupa arus udara berkecepatan tinggi tidak bisa dideteksi.
“Bila terjadi CAT ekstrem biasanya ada yang terluka. Sebab tanda (mengenakan) sabuk pengaman sering sedang dimatikan sehingga penumpang bisa beranjak dari kursinya untuk ke toilet atau mendatangi temannya. Pramugari juga sedang membagikan makanan. Tahun lalu, pesawat dari Timur Tengah menuju Jakarta juga mengalaminya dan sejumlah orang terluka,” terang Michael.
Apa yang perlu dilakukan penumpang saat terbang dalam kondisi cuaca kurang baik? Menghela nafas panjang dan berpikir positif. Ini kata beberapa praktisi penerbangan. Berpikir tentang hal-hal yang menyenangkan saat nanti sampai tujuan dapat membantu kita agar lebih relaks.
Selain itu, kunyah permen karet. Ini menjadi kegiatan kecil yang dianggap bisa mengalihkan rasa cemas kita selama penerbangan. Saran berikutnya, percayalah bahwa para pilot telah dilatih sedemikian rupa untuk menghadapi cuaca buruk. Mereka juga bekerja sama dengan ATC untuk menerbangkan penumpang dengan aman.
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 23 Oktober 2017